4 Hal Unik yang Bisa Kamu Jumpai Saat Menyaksikan Yadnya Kasada

Gunung Bromo tak hanya terkenal dengan wisata alamnya. Bila datang ke sini pada tanggal 14 bulan Kasada dalam penanggalan Jawa (tahun ini jatuh antara tanggal 24-26 Juni), kamu dapat sekalian menyaksikan Yadnya Kasada, upacara adat yang menjadi daya tarik wisata di kawasan tersebut tiap tahunnya.

Belum pernah menyaksikannya langsung? Berikut beberapa hal unik yang bisa kamu jumpai saat menonton tradisi berusia ratusan tahun ini.

  1. Berbagai ritual

Yadnya Kasada memiliki prosesi upacara yang panjang, yang dimulai dengan sejumlah ritual, termasuk mengambil air suci dari mata air Widodaren, melakukan sembahyangan, memberkati sesajen yang akan dilarung, hingga mengangkat dukun baru (pemimpin upacara umat Hindu).

  1. Iring-iringan warga suku Tengger yang membawa ongkek berisi sesajen

Sesuai prosesi upacara oleh dukun baru selesai dilaksanakan, warga suku Tengger akan berjalan beriringan dari Pura Luhur Poten ke puncak Gunung Bromo sambil membawa ongkek (perangkat pikulan) yang berisikan aneka hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan. Kegiatan ini dilangsungkan di malam hari bertepatan dengan bulan purnama.

Pembuatan ongkek ini sendiri dilakukan dan disiapkan semuanya oleh masyarakat setempat. Uniknya, bahan untuk membuat ongkek ini diambil dari desa yang selama satu tahun tidak ada warganya yang meninggal dunia.

  1. Pelarungan sesajen di kawah Gunung Bromo

Sesampainya di puncak, warga akan melemparkan sesajen ke dalam kawah Gunung Bromo. Prosesi ini menjadi puncak upacara Yadnya Kasada. Sesajen itu sendiri dilemparkan sebagai bentuk persembahan dari suku Tengger kepada Gunung Bromo dan Sang Hyang Widhi.

  1. Bertaruh nyawa demi sesajen

Begitu sesajen dilemparkan, kamu bisa melihat sejumlah warga yang nekat turun ke lereng kawah aktif Gunung Bromo. Berbekal jaring dan sejenis terpal, mereka bertaruh nyawa demi mendapatkan ongkek. Apalagi kalau sesajen yang dilempar berupa ternak, seperti ayam dan kambing, karena biasanya jatuhnya tak terlalu jauh sampai ke dalam kawah.

Konon asal-usul ritual ini bermula dari legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang tak kunjung dikaruniai anak meski telah bertahun-tahun menikah. Setelah bertapa sekian lama di puncak Gunung Bromo, akhirnya permohonan mereka dikabulkan oleh Sang Hyang Widhi dengan syarat anak yang ke-25 harus dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai persembahan.

Karena terlanjur sayang, pasangan tersebut tidak memenuhi syarat tersebut dan Sang Hyang Widhi pun murka. Langit pun menjadi gelap dan kawah Gunung Bromo mengeluarkan api. Agar kehidupan di Bromo kembali damai, mereka harus memberi sajen kepada gunung setiap tahun dan sejak itulah ritual ini pun terus dilakukan turun-temurun sebagai wujud janji umat Hindu Tengger terhadap Gunung Bromo.

Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here