Jim Crow Museum Tawarkan Tur Virtual Mengenai Rasisme di Amerika

Dok. Jim Crow Museum

Kontroversi sedang menyelimuti Negara Paman Sam, selain sebagai negara dengan jumlah pasien penderita virus corona tertinggi di dunia, kini tengah marak dengan aksi protes warganya terhadap insiden rasisme yang menewaskan George Floyd. Kasus rasisme di Amerika Serikat sudah menjadi isu sosial selama bertahun-tahun dan tak kunjung berakhir. Banyak upaya dilakukan untuk menghapus ketimpangan sosial karena perbedaan warna kulit, salah satunya dengan mendirikan museum mengenai rasisme yang berlokasi di Ferris State University, Michigan.

Jim Crow Museum of Racist Memorabilia adalah museum unik yang menampilkan beragam artefak yang menggambarkan sejarah rasisme yang dialami kaum Afrika-Amerika dalam budaya Amerika. Misinya adalah menggunakan koleksi-koleksi intoleransi yang anti-kulit hitam untuk mengajarkan toleransi itu sendiri dan mengkampanyekan keadilan sosial.

Sejak 16 Maret lalu, Jim Crow Museum ditutup sementara karena pandemi virus corona, namun pejalan dapat memanfaatkan layanan tur virtual yang tersedia di situs resminya. Selain itu, pihak museum juga membuka kesempatan bagi penikmat sejarah untuk mengikuti tur virtual bersama pemandu profesional, yaitu Cyndi Tiedt selaku Educator and Collections Database Administrator museum. Ia akan mengajak pengunjung mengikuti tur interaktif untuk mengenal lebih lanjut mengenai Jim Crow Museum. Tur istimewa ini akan berlangsung pada 9 Juni dan akan rutin digelar tiap Selasa pukul 13:00 EST (sekitar Rabu dini hari waktu Indonesia), di mana peserta wajib mendaftar di sini terlebih dulu karena keterbatasan kuota.

Awal Mula Berdirinya Museum

Dok. Jim Crow Museum

Museum ini dinamai Jim Crow, karakter teater yang diperankan Thomas D. Rice yang berpakaian lusuh dengan topi usang dan sepatu robek, figur yang merendahkan kaum Afrika-Amerika yang disebut negro. Ketika akhir abad 19, badan legislatif Amerika mengesahkan undang-undang segregasi rasial yang ditujukan terhadap orang kulit hitam, yang dikenal sebagai Jim Crow laws. Museum ini menunjukkan bagaimana ide rasisme dan gambar-gambar anti-kulit hitam berkembang dalam budaya Amerika, juga menampilkan prestasi kaum Afrika-Amerika selama era Jim Crow laws, dan gerakan perjuangan hak sipil.

Adalah David Pilgrim, mantan profesor sosiologi, sekarang berstatus sebagai Wakil Presiden untuk Keanekaragaman dan Inklusi di Ferris State University yang mulai mengumpulkan memorabilia mengenai rasisme yang ia temukan di pasar loak di seluruh Amerika sejak 1970-an. Pada 1996, ia berhasil mengumpulkan hingga 2.000 koleksi dan memutuskan untuk menyumbangkannya ke Ferris State University. Setelah tersimpan selama 15 tahun di ruangan kecil dan kerap digunakan sebagai bahan pengajaran, pada 2012 Jim Crow Museum dibuka untuk umum dan gratis, yang kini berlokasi di ruangan yang lebih besar di Gedung FLITE Ferris State University.

Koleksi dari Berbagai Era

Jim Crow Museum memiliki lebih dari 10.000 artefak, yang mayoritas berasal dari periode 1870 hingga 1960-an. Sebagian besar koleksi berupa memorabilia anti-kulit hitam, seperti lilin mammy (figur yang melambangkan perbudakan, yaitu wanita kulit hitam yang bekerja sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak bagi keluarga kulit putih) dan lawn jockeys (patung pria berpakaian joki kuda, yang biasanya diletakkan di halaman depan sebagai tiang peyangga).

Melalui tur virtual, pejalan di rumah dapat pula melihat varian koleksi yang meliputi buku-buku, papan penanda, tiket, brosur, dan foto-foto yang mengkampanyekan segregasi rasial. Secara virtual, pejalan dapat menyusuri enam ruang pameran yang terdiri Who and What was Jim Crow, Jim Crow Violence, Jim Crow and Anti-Black Imagery, Achieving Despite Resistance, The Battle Continues, dan A New Wave of Egalitarianism.

Eksistensi Jim Crow Museum berperan sebagai wadah bagi generasi muda yang tidak memiliki pengetahuan mendasar mengenai periode penting dalam sejarah Amerika Serikat. Walau koleksi yang ditampilkan seakan meremehkan dan menghina kaum kulit hitam, namun pihak museum percaya bahwa koleksi-koleksi ini dapat digunakan sebagai bahan diskusi yang objektif mengenai ras, hubungan antar ras, dan rasisme itu sendiri.

Teks: Priscilla Picauly

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here