Voice Against Reason, Sebuah Eksplorasi Seni Kontemporer di Museum MACAN

Foto: Dok. Museum MACAN

Hingga 14 April 2024, Museum MACAN di Jakarta Barat merayakan keberagaman seni kontemporer melalui pameran besar bertajuk Voice Against Reason. Melibatkan 24 perupa dari Australia, Bangladesh, India, Indonesia, Jepang, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam, pameran ini menghadirkan karya-karya kontemporer yang menciptakan ruang untuk refleksi, dialog, dan interpretasi.

Pameran ini memperlihatkan kekayaan seni dari berbagai negara, menciptakan perbincangan yang mendalam tentang makna dasar dari bersuara dan berpendapat dalam seni kontemporer. Dengan tajuk yang kuat, Voice Against Reason, pameran ini berusaha merajut realitas yang sementara dan rapuh, menggali narasi pribadi, konteks sejarah, serta tema-tema politik dan geografi, semua melalui sudut pandang para perupa terkemuka.

Foto: Dok. Museum MACAN

Instalasi

Perupa yang berpartisipasi di pameran ini antara lain Bagus Pandega; Nadiah Bamadhaj; Chang En Man; Heman Chong; Griya Seni Hj Kustiyah Edhi Sunarso, Hyphen—, Tom Nicholson dengan Ary “Jimged” Sendy, Aufa R. Triangga, Nasikin Ahmad; Emiria Soenassa; Galih Johar; Shilpa Gupta; I Ketut Muja; I Wayan Jana; Ika Arista; Jumaadi; Khadim Ali; Meiro Koizumi; Natasha Tontey; Tuan Andrew Nguyen; Mumtaz Khan Chopan, Ali Froghi, dan Hassan Ati; Rega Ayundya Putri; S. Sudjojono; Khaled Sabsabi; Kamruzzaman Shadhin; Sikarnt Skoolisariyaporn; Amin Taasha; dan The Shadow Factory.

Salah satu instalasi menarik dalam pameran ini adalah karya Jumaadi berjudul ‘Migration of Flora and Fauna’ (2023). Dengan menggunakan cat akrilik di atas kanvas Kamasan, Jumaadi menciptakan karya yang memaparkan perjalanan flora dan fauna dengan sentuhan seni kontemporer. Karya ini menjadi gambaran visual yang mengundang penonton untuk merenung tentang perpindahan makhluk hidup dan perubahan lingkungan.

Foto: Dok. Museum MACAN

Khadim Ali, seorang seniman asal Pakistan, turut menyumbangkan karyanya yang bernuansa mendalam. Instalasi ‘Silent Ark’ (2023) dan ‘Fragments of Identity’ (2023) menggunakan teknik bordir mesin dan manual pada kain dan pewarna sintetis. Dengan kehalusan detail, Ali menggambarkan keheningan dan fragmen identitas dalam karyanya, memberikan dimensi emosional yang kuat.

Video seni karya Khadim Ali, Mumtaz Khan Chopan, Ali Froghi, dan Hassan Ati berjudul ‘Voice and Noise’ (2023) memberikan dimensi berbeda dalam pameran ini. Melalui medium video, layar, audio, dan benda temuan, mereka menciptakan karya yang mengajak penonton untuk meresapi suara dan kebisingan dalam narasi visual yang memukau.

Foto: Dok. Museum MACAN

Jumaadi juga berkolaborasi dengan The Shadow Factory untuk menciptakan ‘Sirkus di Tanah Pengasingan: Oyong-oyong Ayang-ayang’ (2023). Menggunakan proyektor overhead dan wayang dari potongan kertas, instalasi ini menciptakan pengalaman teatrikal yang unik dan puitis, menggabungkan elemen tradisional dan modern dalam satu kesatuan.

Heman Chong dengan karya ‘Sabotase Sederhana’ (2023) menghadirkan teks apropriasi yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Instalasi dinding spesifik pada ruang menciptakan ruang yang dinamis dan memprovokasi, mengajak penonton untuk merenung tentang kekuatan kata-kata.

Foto: Dok. Museum MACAN

Seniman Galih Johar, dengan instalasi ‘Silikonisti’ (2020), ‘u & me’ (2021), dan ‘Tosan Edgy Series 12 Siluet’ (2022–2023), menyajikan karyanya yang unik dan kontemplatif. Melalui penggunaan bahan-bahan seperti ponsel terkunci, vas periuk, batu pasir, gunting, dan lolipop permen keras, Galih Johar menciptakan karya yang mengajak penonton untuk merenung tentang hubungan antara manusia dan teknologi.

Karya seniman I Wayan Jana berjudul ‘Bisma’ (2023) menampilkan ukiran pada kayu suar. Dengan dimensi yang mencolok, karyanya menggambarkan kekayaan seni ukir tradisional Bali dengan sentuhan kontemporer.

Foto: Dok. Museum MACAN

Pameran ini tidak hanya menampilkan karya seniman kontemporer, tetapi juga menghadirkan warisan seni Indonesia dari periode modern, seperti karya S. Sudjojono, I Ketut Muja, dan Emiria Soenassa. Melalui kumpulan karya ini, pameran Voice Against Reason menciptakan jembatan antara masa lalu dan masa kini, membuka ruang diskusi tentang evolusi seni dan nilai-nilai budaya.

Terlebih lagi, pameran ini tidak hanya berfokus pada pameran visual. Sebagai sebuah proyek seni yang mencakup karya-karya baru, pertunjukan, diskusi, program kuliah terbuka, dan program-program publik, ‘Voice Against Reason’ menjadi sebuah peristiwa seni yang merangkul audiens untuk terlibat lebih dalam dengan seni dan tema-tema yang diangkat.

Instalasi menarik lainnya dapat disaksikan di Museum MACAN. Penikmat seni yang tertarik mengunjungi pameran ini dapat memesan tiket melalui situs resminya di museummacan.org.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here