Menyambangi Kampung Bena, Permukiman Megalitikum di Kaki Gunung Inerie

Dikelilingi hutan, pegunungan, dan dianugerahi iklim yang sejuk, Bajawa merupakan tempat sempurna untuk menjelajahi sejumlah desa tradisional yang dihuni suku Ngada. Bangunan di desa-desa yang memiliki peninggalan megalitik ini masih terawat dengan baik.

Salah satunya yang wajib kamu kunjungi adalah Kampung Adat Bena. Terletak di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, kampung yang berada di puncak bukit ini menyuguhkan panorama asri nan eksotis dengan hamparan pepohonan yang rimbun di sekitarnya maupun latar belakang Gunung Inerie yang menakjubkan.

Kampung ini diperkirakan sudah ada sejak 1.200 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan megalitikum berupa batu besar berbentuk lonjong bernama Watu Lewa dan batu berbentuk meja bernama Nabe yang kerap digunakan untuk ritual adat.

Meski demikian, kampung ini masih belum tersentuh kemajuan teknologi, dengan bentuk rumah yang masih sama seperti dulu, yakni terbuat dari kayu dan beratap jerami. Masyarakatnya juga masih memegang teguh adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Memiliki setidaknya 40 rumah yang berjajar membentuk huruf U dan memanjang dari utara ke selatan, permukiman ini sengaja dibangun di atas kontur asli tanah yang berbukit. Semakin ke selatan, semakin tinggi tanahnya, sehingga bila dilihat dari jauh, kampung ini tampak berundak.

Akses masuk hanya dari sisi utara, karena sisi selatan berbatasan langsung dengan tepi tebing yang terjal. Di sisi selatan ini juga terdapat sebuah gazebo untuk menyaksikan pemandangan perbukitan maupun Laut Sawu di kejauhan.

Deretan rumah di kampung ini dihuni sembilan suku yang berbeda, dengan setiap suku berada dalam satu ketinggian tanah yang sama. Masing-masing rumah juga memiliki hiasan atap yang berbeda untuk menunjukkan status sosial pemiliknya.

Dari ketinggian, bentuk kampung ini menyerupai perahu karena menurut kepercayaan animisme yang masih diyakini masyarakatnya (walau mereka penganut Katolik), perahu merupakan wahana bagi arwah yang menuju keabadian. Perahu juga merupakan lambang perjuangan nenek moyang masyarakat Bena yang datang dari Tiongkok Selatan naik perahu sampai ke perairan Nusa Tenggara.

Selain jajaran rumah, di tengah kampung ini juga dapat dijumpai bangunan yang dinamai bhaga dan ngadu. Bhaga berupa pondok kecil tak berpenghuni dan merupakan simbol nenek moyang perempuan. Sementara ngadu yang merupakan simbol nenek moyang laki-laki berupa bangunan bertinggal tunggal dan beratap ijuk.

Wisatawan yang tertarik mengunjungi Kampung Adat Bena dikenakan tiket masuk sebesar Rp20 ribu dan biaya parkir kendaraan Rp5 ribu. Biasanya ada warga lokal yang merangkap menjadi pemandu untuk menemani wisatawan berkeliling kampung.

Selain berladang, mata pencaharian utama warganya adalah bertenun. Kalau kebetulan melihat mereka sedang menenun, kamu bisa melihat dan memotretnya. Kain hasil tenunan mereka biasanya digantung di depan rumah masing-masing untuk dijual.

Siapkan uang tunai bila berniat membelinya untuk oleh-oleh. Harganya berkisar mulai Rp100 ribu, tergantung ukuran, bahan, motif, dan tingkat kesulitan pembuatannya.

Kampung Adat Bena dapat diakses dari Bajawa dengan berkendara sekitar 30 menit melalui jalanan yang berkelok-kelok. Bajawa sendiri dapat dicapai dari Labuan Bajo dengan berkendara selama 7-8 jam.

 Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here