Mengintip Tradisi Unik di Bawomataluo, Desa Adat Wajib Kunjung di Nias

Berkat lokasinya yang terpencil, Nias, yang dalam bahasa setempat disebut Tano Niha, adalah salah satu permata khatulistiwa dengan kekayaan alam dan budaya yang masih terjaga kelestariannya. Selain merupakan salah satu lokasi selancar terbaik dunia, Nias memiliki daya tarik lainnya, yakni budaya yang masih terjaga dengan baik.

Hal ini bisa terlihat dari keberadaan Desa Bawomataluo, salah satu desa adat sekaligus desa budaya yang konon sudah ada sejak zaman megalitikum. Lokasi desa ini ada di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan.

Mempunyai makna Matahari Terbit, desa yang terletak di ketinggian 400 mdpl ini memiliki udara yang cukup sejuk dan panorama Pantai Sorake dan Pantai Lagundri yang indah. Dari tangga masuk desa, kita bisa melihat deretan rumah penduduk dan rumah raja Nias di sebelah kiri dan deretan rumah adat penduduk dan sebuah balai desa di sebelah kanan.

Walau telah berusia ratusan tahun, bangunan-bangunan itu masih utuh dan terjaga dengan baik. Bangunan-bangunan itu tidak pernah direnovasi kecuali atap rumah yang diganti dengan seng agar lebih awet.

Selain menyimpan deretan rumah adat, desa ini terkenal dengan tradisi lompat batu (fahombo atau hombo batu dalam bahasa Nias). Tradisi yang telah berlangsung selama ratusan generasi ini terbilang unik dan mengundang rasa penasaran wisatawan yang berkunjung ke Bawomataluo.

Ada cerita menarik di balik tradisi melompati batu setinggi sekitar dua meter ini. Menurut penduduk setempat, tradisi ini diciptakan sebagai ajang untuk menguji fisik dan mental para remaja pria menjelang usia dewasa.

Mengenakan pakaian tradisional, mereka harus dapat melompati batu menggunakan teknik tertentu dengan risiko cedera otot atau patah tulang jika mendarat dengan posisi yang salah. Adalah sebuah kebanggaan bagi keluarga jika anak laki-laki dapat melompati batu, karena artinya ia telah mencapai usia yang cukup untuk menikah atau terjun ke medan perang.

Walau saat ini perang antar desa sudah tidak pernah lagi terjadi, hombo batu tetap diteruskan sebagai salah satu bentuk ritual upacara dan simbol budaya masyarakat Nias.

Tidak kalah menariknya dengan fahombo, di desa ini juga bisa disaksikan tari perang yang dikenal sebagai Tari Faluaya atau Maluaya. Tarian ini dibawakan oleh para pria yang berperan sebagai kesatria dengan atribut pakaian perang.

Tubuh mereka dihiasi dengan berbagai pernik yang menambah kesan seram untuk membuat takut lawan. Tangan kanan memegang tombak atau parang yang menjadi senjata utama, sementara tangan kiri memegang perisai untuk menangkis serangan musuh. Di bawah komando seorang komandan, ratusan warga menyusun formasi memulai tarian yang dinamis sambil mengayunkan parang serta tombak.

Di masa lalu, tari ini dilakukan untuk meningkatkan semangat para kesatria sebelum pergi berperang ke desa lain. Kini, tari ini dipentaskan setiap ada acara-acara kebudayaan.

Bila tertarik menyaksikan sejumlah tradisi yang unik ini, kamu bisa langsung berkunjung ke Desa Bawomataluo. Untuk aksesnya sendiri, kamu bisa naik pesawat untuk mencapai Bandara Binaka di Gunungsitoli, Pulau Nias. Setibanya, masih dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar tiga jam hingga tiba di desa para pelompat batu tersebut.

 Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here