Tari Caci, Ajang Pembuktian Keperkasaan Lelaki Manggarai

Berbagai suku yang ada di Indonesia turut mewariskan beragam seni dan budaya yang eksotis. Sebut saja tari perang yang memiliki ciri khas berbeda di tiap daerah, dari gerakan, kostum, hingga penarinya.

Di Flores, Nusa Tenggara Timur, kamu dapat menyaksikan tari caci yang merupakan tarian perang khas suku Manggarai. Dilakukan oleh dua orang laki-laki, keduanya secara bergantian saling memukulkan pecut ke tubuh lawan. Ketika lawan melontarkan pecut, yang satu harus berusaha menangkis dengan perisai.

Tarian ini berlangsung dengan iringan alat musik berupa gendang dan gong, selain juga lantunan lagu khas suku Manggarai. Ketika dua penari utamanya sedang bertarung, penari lainnya yang menjadi penonton bersorak-sorak untuk memberi dukungan. Sungguh meriah pertunjukan ini, dan sayang sekali dilewatkan kalau kebetulan sedang berwisata ke Flores!

Apalagi, tarian unik ini mengajarkan banyak hal, termasuk sportivitas, kepahlawanan, ketangkasan, keindahan, dan kemurnian hati, selain merupakan ajang pembuktian kekuatan seorang laki-laki Manggarai. Luka-luka akibat cambukan bahkan dikagumi sebagai lambang maskulinitas.

Konon di masa lalu, setelah tarian ini digelar di siang hari, malamnya dilanjutkan dengan ajang mencari jodoh bagi muda-mudi. Mereka berbaris dalam sebuah lingkaran, dengan antara pria dan wanita berdiri berselang-seling, serta menyanyikan lagu yang syairnya bersahut-sahutan.

Kini, tari caci dipentaskan untuk memeriahkan berbagai acara, termasuk syukuran hasil panen yang biasanya dilaksanakan antara Juli sampai Oktober. Kalau tertarik menyaksikannya, kamu bisa mengunjungi Kampung Melo yang terletak di Desa Liang Ndara, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat.

Lokasinya mudah diakses dari Labuan Bajo, yakni hanya 25 km jauhnya atau dapat ditempuh sekitar 50 menit berkendara. Untuk memudahkan, kamu bisa menggunakan navigasi berikut pada Google Maps.

Tak seperti kawasan pesisir yang terbilang terik, Kampung Melo terletak di ketinggian sekitar 500 mdpl, sehingga hawanya lebih sejuk. Kampung ini sendiri memiliki tradisi unik dalam menyambut tamu, mulai dari mendoakan dan memberikan kata-kata ucapan dalam bahasa adat, hingga menjamu tamu di rumah dengan panorama menghadap kaki bukit.

Setelah itu, barulah tamu diajak menonton berbagai pertunjukan budaya, termasuk tari caci. Penduduk desa juga tak segan menunjukkan proses pembuatan sopi, minuman tradisional berkadar alkohol 30 persen yang berbahan dasar getah pohon aren.

Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here