Dulu Berupa Pondok Kayu, Kini Menjadi Ikon Singkawang

Sejauh mata memandang, kelenteng adalah bangunan yang paling mudah ditemukan di Singkawang. Hampir tiap sudut kota ada saja kelenteng yang berdiri, sehingga menjadikan kota di Kalimantan Barat ini dijuluki Kota Seribu Kelenteng.

Dari sekian kelenteng yang ada, nama Vihara Tri Dharma Bumi Raya akan selalu melekat dengan Singkawang, bahkan menjadi ikon kota yang dulunya berupa desa tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Monterado, yang juga berada di wilayah Kalimantan Barat. Vihara Tri Dharma Bumi Raya adalah kelenteng tertua di Singkawang yang sudah berdiri sejak 1878.

Dulunya wihara ini hanya berupa pondok sederhana yang menjadi tempat transit orang-orang dari luar Singkawang. Sekitar 1920-an, bangunan pondok dirobohkan untuk dijadikan wihara. Saat itu proses pembangunan tidak berjalan lancar karena mendapat larangan dari penguasa Belanda di Singkawang. Konon, si penguasa tersebut akhirnya memberi lampu hijau untuk melanjutkan kembali pembangunan wihara setelah Tua Pek Kong mendatanginya dalam mimpi.

Tua Pek Kong yang Melegenda

Hok Tek Ceng Sin atau yang lebih familiar disebut Tua Pek Kong adalah sosok legenda dan memiliki peran dalam kehidupan masyarakat di Singkawang. Menurut legenda, Tua Pek Kong diangkat menjadi raja pada usia 36 tahun dan dikenal sebagai sosok yang adil, bijaksana, serta membumi dengan warganya. Ia selalu beramal dan membawa kesejahteraan bagi rakyat yang dipimpinnya. Dalam kisahnya, saat Tua Pek Kong meninggal di usia 102 tahun, wajahnya tetap tersenyum walaupun sudah wafat lebih dari tiga hari.

Tua Pek Kong bisa ada Singkawang berkat Lie Shie, sosok yang berjasa membangun kelenteng ini dan juga yang membawa patung sang dewa dari Tiongkok untuk diletakkan di altar. Rupa patung Tua Pek Kong adalah kakek tua dengan jenggot panjang, yang terbuat dari kayu. Patung ini masih ada hingga sekarang dan dapat ditemukan saat mengunjungi Vihara Tri Dharma Bumi Raya.

Sedari dulu Tua Pek Kong diyakini sebagai dewa pelindung dan penjaga kota Singkawang dari roh-roh jahat. Warga akan datang ke kelenteng untuk beribadah dan memohon lindungan sang dewa. Tua Pek Kong di Vihara Tri Dharma Bumi Raya semakin istimewa berkat keberadaan Ru Yi, yaitu simbol kekuasaan dan keberuntungan di tangan kanan patung dewa, berbeda dengan patung-patung Tua Pek Kong di wihara lain yang membawa tongkat dan botol arak.

Sentra Perayaan Imlek dan Cap Go Meh

Setiap tahunnya, Vihara Tri Dharma Bumi Raya berperan di dua tradisi penting dalam kultur Tionghoa, yaitu perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Tak hanya didatangi warga Singkawang, wihara ini ramai dipadati pengunjung dari luar kota yang ingin melakoni ibadah. Sebelum memulai proses sembahyang untuk membersihkan diri dari roh-roh jahat, pengunjung akan mendaftarkan diri ke petugas dan menyampaikan keinginan mereka. Petugas ini nantinya berperan sebagai perantara umat dengan dewa, yang akan menyampaikan keinginan umat.

Dupa akan dibakar sambil melakukan sembah di hadapan patung-patung dewa pelindung. Seusai menjalani doa, umat akan keluar kelenteng dengan membawa kertas kuning dan memasukkannya ke ruang pembakaran yang berbentuk seperti kuil bertingkat. Selain didatangi umat untuk berdoa, kelenteng ini juga menjadi titik awal pawai tatung saat perayaan Cap Go Meh, sebelum mereka berparade keliling kota sambil menunjukkan aksi menusuk badan dengan aneka benda tajam. Para tatung yang tubuhnya akan dirasuki roh-roh para dewa dan leluhur terlebih dulu mendatangi kelenteng untuk meminta perlindungan dari Tua Pek Kong agar selamat selama pawai berlangsung.

Teks: Priscilla Picauly

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here