Mengunjungi Kampung Adat di Ruteng, Cuma 10 Menit Berkendara dari Pusat Kota

Foto: Instagram @rizalrz

Banyak wisatawan yang sudah tak asing lagi dengan keberadaan Wae Rebo, kampung tradisional suku Manggarai yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 meter. Tak sedikit pula yang rela jauh-jauh trekking kemari karena memang lokasinya di tengah pegunungan yang tertutup hutan, selain belum ada kendaraan yang dapat mengakses kampung tersebut, sehingga mereka mesti berjalan kaki selama empat jam dari Denge untuk mengaksesnya.

Namun, tahukah kamu, di Kabupaten Manggarai terdapat kampung adat lain yang lebih mudah dijangkau? Namanya Ruteng Pu’u dengan lokasi di Kelurahan Golo Dukal, Kecamatan Langke Rembong.

Merupakan desa tertua di Ruteng sekaligus salah satu desa tradisional yang masih tersisa di Manggarai, Ruteng Pu’u bisa kamu akses dengan berkendara sekitar 10 menit saja dari pusat kota Ruteng. Jalannya mulus dan beraspal, serta dapat dilalui motor ataupun mobil. Mendekati lokasi, kamu akan menjumpai hutan kopi dan pepohonan rindang yang membuat suasana semakin asri.

Ruteng Pu’u menyimpan dua mbaru niang, rumah adat berbentuk kerucut khas suku Manggarai. Dua rumah adat tersebut dinamai Mbaru Tambor dan Mbaru Gendang. Rumah yang disebut pertama biasa dihuni oleh perwakilan dari pihak pria, sedangkan rumah yang lain dihuni oleh pihak perempuan.

Foto: Instagram @frengky_juliotapun

Pada masanya, seluruh penduduk suku Manggarai dapat muat menempati kedua rumah besar yang terdiri beberapa kamar tersebut. Seiring dengan pertambahan populasi, Tambor dan Gendang sudah tak dapat menampung keturunan suku Manggarai.

Penduduknya kemudian membangun rumah lain di sekitar rumah adat tersebut dengan konstruksi melingkar. Persis di bagian tengahnya terdapat compang, altar batu tempat kerbau dan sapi diikat untuk dikorbankan sebagai bagian dari ritual Penti untuk merayakan panen melimpah.

Foto: Instagram @rudycrates

Selain menyaksikan rumah adat dan menjelajahi kampungnya, daya tarik dari kunjungan ke Ruteng Pu’u adalah keramahan warganya, khususnya anak-anak yang selalu ceria dan antusias saat menyambut wisatawan. Mereka kerap meminta uang, permen, dan pena kepada turis, namun acuhkan saja dan sebagai gantinya ajak mereka bermain, bercakap-cakap, dan melakukan selfie.

Memasuki kampung ini sendiri tidak perlu membayar biaya apa pun. Namun pengunjung diperbolehkan berdonasi secara sukarela.

Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here