Menyusuri Kampung Pecinan Ketandan, Wujud Nyata Akulturasi Budaya di Yogyakarta

Wisata seni dan budaya tak harus di tempat-tempat seperti museum. Kalau ingin sekalian jalan-jalan, kamu bisa datang ke kampung-kampung kuno yang menarik untuk dieksplorasi.

Bila sedang di Yogyakarta, Kampung Ketandan yang berada di utara Pasar Beringharjo bisa kamu kunjungi. Kalau dari arah Jalan Malioboro, kamu tinggal berjalan kaki menyusuri jalan tersebut ke arah Jalan Margo Mulyo. Lokasi pintu masuknya persis di samping Ramayana Malioboro.

Kampung ini merupakan salah satu kawasan pecinan yang populer di Yogyakarta. Tak sulit mengenalinya, karena di bagian depan kampung terpasang gapura berwarna merah dengan lilitan naga di kanan kirinya, lengkap dengan papan bertuliskan Kampoeng Ketandan.

Foto: Instagram @djlilik_

Selepas melewati gapura, kamu akan menjumpai pertokoan yang menjual berbagai macam barang, dari makanan, pakaian, hingga emas dan perhiasan – mirip seperti kawasan pecinan lainnya di Indonesia. Semakin jauh berjalan, semakin banyak pula dekorasi bergaya oriental yang bisa kamu temui di sudut-sudut bangunan.

Beberapa toko pun sengaja dicat merah dan kuning, yang menurut fengsui dipercaya dapat membawa keberuntungan. Sementara yang lain berhiaskan ornamen budaya, seperti lampion dengan warna merah menyala.

Uniknya, walaupun bernuansa oriental, sebagian besar bangunan di Kampung Ketandan ini arsitekturnya terpengaruh oleh budaya Jawa maupun Eropa. Hal inilah yang menjadikan daya tarik tersendiri bagi pecinan di kawasan Malioboro ini.

Foto: Instagram @rameliavitra

Corak arsitektur Cina terlihat dari bentuk atapnya yang ditopang oleh dinding pada tepinya, lalu dipadukan dengan atap pelana khas Jawa. Sementara pengaruh Eropa terlihat dari dindingnya yang tebal, pilar-pilar penyangga, dan langit-langit yang tinggi.

Konon, kampung ini sendiri sudah ada sejak lebih dari dua abad lalu. Keberadaannya tak lepas dari peran seorang Kapitan Tionghoa bernama Tan Jin Sing (1760-1831), putra bangsawan Jawa yang diadopsi oleh saudagar Tionghoa.

Karena kepandaiannya, ia berhasil menjadi penjembatan antara Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Jawa saat itu. Berkat jasanya, sang sultan memberikannya hadiah tanah dan mengizinkan etnis Tionghoa tinggal di sana. Seiring berjalannya waktu, kampung tersebut pun mulai ramai ditinggali warga keturunan etnis Tionghoa.

Foto: Instagram @ardiesa_

Nama Ketandan sendiri berasal dari kata “tondo”, julukan yang disematkan untuk warga Tionghoa yang bertugas menarik pajak untuk Keraton Yogyakarta – karena dulu kawasan ini juga ditinggali oleh mereka. Karena sejarah panjang dan keterkaitannya dengan keraton yang begitu erat, tak heran kalau kemudian budaya Tionghoa bisa diterima oleh masyarakat setempat.

Kampung Ketandan ini terutama ramai saat ada perayaan budaya Tionghoa, termasuk saat Tahun Baru Imlek ketika digelar Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta. Dekorasi lampion digantung memayungi sepanjang jalan. Pawai barongsai, wayang potehi, tari-tarian, dan pertunjukan hiburan lainnya digelar untuk memeriahkan acara.

Foto: Instagram @kulineryogya

Lapak-lapak pun ramai menjual berbagai makanan, dari bakcang, kue keranjang, ronde, lontong cap go meh, hingga berbagai menu lezat lainnya. Tak jarang, warga non-Tionghoa turut mendirikan lapaknya di sini dan menjajakan menu tradisional. Selain itu, berbagai kuliner lainnya, seperti khas Korea, Jepang, dan India, juga bisa dijumpai.

Sayangnya karena pandemi, semua acara ini mesti ditunda sementara. Imlek kemarin, pekan budaya digelar secara virtual dan disiarkan secara langsung tanpa mengundang massa. Semoga pandemi cepat berakhir dan kita bisa segera menikmati kemeriahannya ya!

Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here