Hampir semua museum di Indonesia memiliki latar belakang dan sejarah yang berbeda-beda, begitu pula Museum Tekstil. Bangunan museum ini konon awalnya merupakan gedung rumah pribadi milik seorang warga Prancis yang dibangun pada abad ke-19.
Bangunan ini kemudian beralih fungsi menjadi museum yang memamerkan beragam tekstil Indonesia, termasuk aneka batik kuno dan batik perkembangan (kontemporer) dari masa ke masa. Bila ingin melihat beragam kain khas nusantara, di sinilah tempatnya.
Salah satu ruangan yang menarik di museum ini adalah Ruang Pengenalan Wastra, yang menyajikan berbagai koleksi alat tenun dari berbagai daerah, selain juga informasi mengenai bahan baku serta proses pembuatan kain tradisional di Indonesia. Pengunjung juga diperkenankan untuk mengoperasikan alat tenun di ruangan ini.
Jangan lewatkan juga Kebun Pewarna Alam. Di lahan terbuka seluas sekitar 2.000 meter persegi ini, pengunjung akan diajak untuk mengenal tentang berbagai jenis tanaman penghasil warna yang biasa digunakan sebagai perwarna alami pada kain-kain tradisional. Bagi yang gemar membaca, museum ini pun dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku-buku tekstil yang akan menambah pengetahuan.
Selain berkeliling museum, kamu juga dapat berbelanja di toko oleh-oleh yang ada di kompleks museum ini. Tak ada salahnya membeli suvenir atau pernak-pernik kecil sebagai tanda bahwa kamu pernah mengunjungi Museum Tekstil.
Selama masa pandemi, museum yang terletak di Jalan Aipda Ks. Tubun No. 2-4, Tanah Abang, Petamburan ini beroperasi setiap hari Selasa hingga Minggu pukul 09:00 hingga 15.00. Harga tiket masuknya pun terjangkau, yaitu Rp5.000 untuk dewasa, Rp3.000 untuk mahasiswa, dan Rp2.000 untuk pelajar.
Selain itu, hanya dengan membayar Rp 40.000 per orang, pengunjung juga bisa mempelajari cara membuat batik, yang diawali dengan membuat motif pada sehelai kain putih dengan canting. Setelah itu, peserta diajak untuk memproses kain tersebut, dari merendam dengan bahan pewarna, merebus, hingga mencucinya. Setelah dijemur dan diangin-anginkan, kain batik yang sudah kering tersebut bisa dibawa pulang sebagai cendera mata. Menarik bukan?
Teks: Dionesia Ika | Editor: Melinda Yuliani