Tak hanya terkenal dengan cengkih dan pala atau pesona alamnya yang membius mata, Ambon juga memiliki tempat-tempat bersejarah, mulai dari kisah petualangan para penjelajah, dikenalnya agama Islam berkat perdagangan, kehadiran Portugis, hingga politik dagang VOC yang berkembang menjadi penjajahan selama ratusan tahun dan semangat perlawanan penduduk setempat untuk mengusir Belanda dan Jepang – semuanya terangkum di tempat-tempat berikut ini.
Benteng Ferangi
Benteng yang dibangun Portugis ini merupakan bekas pusat pemerintahan dan tempat penyimpanan rempah-rempah yang dikumpulkan dari seluruh Indonesia Timur. Di area sekitar benteng terdapat meriam-meriam berukuran raksasa, sementara di bagian dalamnya dipamerkan peta perkembangan kota Ambon dari masa ke masa, serta berbagai peninggalan Belanda dan Portugis. Pada 1575, ketika benteng ini didirikan, tinggallah sekelompok masyarakat yang kemudian disebut dengan nama-nama, seperti Soa Ema, Soa Kilang, dan Soa Silale, yang merupakan cikal bakal terbentuknya kota Ambon.
Benteng Amsterdam
Berdiri kokoh di tepi pantai di Desa Hila, benteng peninggalan Belanda yang dibangun pada 1512 ini lebih mirip rumah ketimbang benteng. Terdiri tiga lantai, di mana lantai dasar dulu merupakan penjara dan gudang mesiu, lantai dua adalah tempat prajurit beristirahat sambil mengawasi keadaan sekitar benteng, serta lantai paling atas sebagai menara pengintai yang menghadap Pulau Seram.
Sebelum menjadi benteng pertahanan, bangunan ini adalah milik Portugis untuk menyimpan rempah-rempah yang ketika itu nilainya jauh lebih berharga ketimbang emas. Benteng beralih fungsi ketika terjadi pertempuran antara Belanda dengan Kerajaan Tanah Hitu pada 1653.
Taman Makam Persemakmuran
Ambon War Cemetery atau Taman Makam Persemakmuran memakamkan lebih dari 2.000 tentara sekutu yang gugur melawan Jepang selama Perang Dunia II. Kebanyakan yang dimakamkan di sini adalah tentara Australia, selain sebagian kecil tentara Belanda, Inggris, India, Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan. Untuk jenazah-jenazah yang tak bisa dikenali, di nisannya hanya tercantum asal dan lambang kesatuan dengan tulisan “Known unto God (Hanya Tuhan yang Tahu)”.
Di bagian depan kompleks pemakaman ini terdapat Tugu Ambon untuk mengenang 289 tentara dan 171 penerbang dari kesatuan Australia yang diprediksi gugur di Maluku, Sulawesi, dan kepulauan sekitarnya, namun jenazahnya tidak pernah diketemukan. Nama-nama para tentara itu ditulis pada dinding tugu, dilengkapi dengan nomor prajurit, pangkat dan jabatan terakhir, serta nama asal kesatuan.
Hingga kini, pemakaman ini masih sering dikunjungi oleh keluarga para tentara, terutama setiap 10 September untuk memperingati penahanan tentara Gull Force oleh Jepang pada 1941 hingga 1945 di Ambon, selain setiap 25 April pada ANZAC Day untuk memperingati warga Australia dan Selandia Baru yang gugur di Perang Dunia I. Sebelum konflik sosial melanda Ambon dan Maluku pada 1999, ANZAC Day selalu dirayakan meriah. Peringatan Anzac Day pada 25 April 2015 lalu merupakan yang ketiga kalinya dilaksanakan setelah yang pertama pada 2013.
Taman Pattimura
Di taman ini terdapat patung pahlawan nasional Thomas Matulessy yang bergelar Kapitan (panglima perang), menggantikan patung lama yang telah dipindahkan ke kawasan Museum Siwalima. Patung baru ini terbuat dari perunggu setinggi tujuh meter dan berat mencapai empat ton.
Dibuat oleh pematung Rusdian Rachmadi dan dikerjakan di Bandung, detail monumen ini sengaja dibuat membentuk tanggal 15 Mei 1817, yang merupakan tanggal awal perjuangan Pattimura melawan Belanda. Di sinilah juga jenazah Pattimura diletakkan setelah dihukum gantung pada 1817.
Monumen Martha Christina Tijahahu
Terletak di Karang Panjang, menuju monumen ini haruslah melewati jalan menanjak dan beberapa tikungan tajam sebelum tiba di lokasi yang bersebelahan dengan Kantor DPRD Maluku. Menurut penuturan saksi, dalam pertempuran melawan Belanda, Martha Christina Tiahahu melemparkan batu ke tentara Belanda ketika pasukannya kehabisan amunisi. Karena nekad melawan senjata api dengan batu, masyarakat Maluku menjulukinya sebagai seorang wanita kabaressi (pemberani).
Tempat ini paling pas dikunjungi menjelang matahari terbenam karena letaknya tinggi di atas bukit yang menghadap Teluk Ambon. Konon saat pembangunan, patung ini sulit didirikan, dan baru menemukan posisi seimbang ketika menghadap Laut Banda, tempat jenazah Martha Christina Tiahahu bersemayam.
Teks: Melinda Yuliani