Malioboro dan Sejuta Kisah Mengenainya

Pekan lalu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan pernyataan tegas, yakni akan menutup dan membubarkan kerumunan di sekitaran Malioboro jika masih melihat warganya yang lalai menjalankan protokol pencegahan Covid-19. Sebagai jantung kota Yogyakarta, tak bisa disangkal jika peran Malioboro melebihi sebuah jalanan kota. Malioboro menjadi sentra aktivitas dan penghidupan warga lokal.

Membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta, Jalan Malioboro secara keseluruhan terdiri Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Selain sebagai jalur lalu lintas utama, kawasan ini menjadi area favorit para wisatawan mencari suvenir dan warga lokal yang berdagang.

Malioboro Tempo Dulu 

Benteng Vredeburg dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda.

Dalam bahasa Sanskerta, Malioboro bermakna karangan bunga. Rumor menyebutkan bahwa nama Malioboro berasal dari nama Jenderal John Churchill dari Inggris yang bergelar Duke of Marlborough. Namun asumsi ini dibantah sejarawan Peter Carey yang menyatakan Yogyakarta tidak pernah berada di bawah kendali kolonial Inggris.

Eksistensi Malioboro lebih sakral dari yang dikira, bukan sekadar jalan utama kota. Malioboro dirancang sebagai sumbu imajiner antara Pantai Parangkusumo (yang populer disebut Pantai Selatan), Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Seiring berjalannya waktu, tepatnya saat Belanda mulai berkuasa di Yogyakarta, area sekitaran Malioboro mulai didirikan bangunan pendukung bangsa kolonial, sebut saja Benteng Vredeburg, Dutch Club di tahun 1822, kediaman gubernur Belanda pada 1830, Java Bank, dan kantor pos (sekarang Kantor Pos Yogyakarta). Kegiatan perdagangan juga semakin berkembang berkat jalinan kerja sama antara orang Belanda dengan pedagang asal Tiongkok.

Di era perjuangan kemerdekaan Indonesia, Malioboro menjadi saksi bisu pertempuran melawan Belanda yang ingin menduduki Yogyakarta, yang dikenal sebagai peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Beberapa dekade kemudian, Malioboro yang awalnya merupakan jalan dua arah makin menunjukkan pamornya sebagai tempat yang harus dituju wisatawan saat berkunjung ke Yogyakarta.

Menata Malioboro 

Sejak 2014, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan revitalisasi Malioboro menjadi kawasan semipedestrian.

Perannya sebagai sentra hiburan dan perdagangan membuat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menata Malioboro dan sekitarnya menjadi lebih baik, dimulai dari Titik Nol Kilometer yang diubah menjadi kawasan semipedestrian sejak 2014. Di tahun yang sama, untuk pertama kalinya Alun-alun Utara dan area Titik Nol Kilometer direvitalisasi menggunakan batu andesit.

Proyek revitalisasi ini bertujuan untuk menata kawasan sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Dengan rupa dan fasilitas yang memberi rasa nyaman, tentunya akan menarik perhatian pengunjung. Seiring berjalannya waktu, area sekitaran Malioboro mulai tertata rapi, mulai dari penataan jajaran pedagang kaki lima (PKL), pembangunan area parkir dan toilet yang layak, serta menempatkan kursi-kursi taman di sepanjang jalur pedestrian.

Destinasi Sekitar Malioboro

Sembari menyusuri Malioboro, wisatawan dapat mengunjungi sejumlah atraksi wisata yang dapat diakses dengan berjalan kaki. Inilah beberapa tempat menarik di Malioboro yang dapat dikunjungi.

  • Pasar Beringharjo

Berada di Jalan Margo Mulyo, Pasar Beringharjo awalnya merupakan kawasan hutan beringin yang beralih fungsi pada 1758 sebagai tempat transaksi ekonomi oleh warga lokal. Selain sebagai tempat favorit untuk mencari suvenir, wisatawan kerap mendatangi Pasar Beringharjo untuk menikmati jajan pinggir jalan, seperi es dawet Mbah Hari yang berisi cendol, cincau hijau, potongan nangka yang diguyur santan dan air gula merah; sate kere yang terbuat dari lemak sapi yang diberi bumbu dan kecap; burung puyuh bacem Bu Marzuki yang berlokasi dekat pintu selatan pasar; dan sup kembang waru yang hanya ditemukan di Kuliner Metro Pasar Beringharjo lantai dua.

  • Benteng Vredeburg

Merupakan loji tertua di Yogyakarta yang berada di Kawasan Titik Nol Kilometer, benteng ini dulunya merupakan pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda. Kini bangunan tersebut dijadikan museum yang menampilkan koleksi diorama perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan.

  • Taman Pintar

Atraksi wisata ini ideal bagi mereka yang berkunjung bersama buah hati karena menyediakan wahana permainan yang edukatif. Wahana permainan ini dirancang untuk meningkatkan minat anak terhadap sains, seperti parabola berbisik yang melibatkan dua orang yang berdiri saling membelakangi di depan dua parabola berjarak 10 meter. Jika salah satu berbisik sepotong kalimat ke depan parabola, maka orang lain yang berada di depan parabola lainnya akan mendengar dengan jelas kalimat tersebut.

  • Titik Nol Kilometer

Persimpangan Titik Nol Kilometer menjadi area favorit untuk duduk-duduk santai menikmati suasana kota dengan latar bangunan-bangunan lawas, seperti gedung Kantor Pos Yogyakarta, Istana Negara, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Umum 1 Maret.

  • Museum Sonobudoyo

Merupakan museum yang menampilkan koleksi sejarah dan kebudayaan Jawa, Museum Sonobudoyo diakui memiliki koleksi paling lengkap setelah Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Berada dekat Alun-alun Utara, Museum Sonobudoyo dapat diakses dengan berjalan kaki dari Titik Nol Kilometer.

  • Museum Kereta Keraton Yogyakarta

Berlokasi di Jalan Rotowijayan, museum yang didirikan sejak Sri Sultan Hamengkubuwono VI naik tahta, menyimpan koleksi kereta kuda milik Keraton Kasultanan Yogyakarta. Koleksi kereta ini merupakan kendaraan para sultan untuk berbagai acara dan sebagian besar sudah berusia ratusan tahun.

Teks: Priscilla Picauly | Editor: Melinda Yuliani

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here