Malana, Desa Ganja di India

India memiliki banyak tempat-tempat memesona, yang masing-masing memiliki tradisi, budaya, dan warisannya tersendiri. Dari sekian banyak tempat tersebut, Malana merupakan salah satunya yang paling unik.

Bertengger di punggung bukit lembah Kullu yang subur, Malana benar-benar terisolasi dari kota-kota besar di India. Dulu, untuk mencapai desa kuno di Himalaya ini, pejalan mesti berjalan kaki selama empat hari dari jalan terdekat. Aturan dan tradisinya pun masih merujuk pada ajaran dewa Jamlu, di mana mereka memilih parlemen dan menyelesaikan perkara melalui pengadilan desa.

Namun nama Malana ini tak benar-benar asing. Selama berabad-abad, penduduk menanam tanaman yang membuat nama Malana melegenda di kalangan penggemar ganja. Desa itu juga menjadi ladang pertaruhan untuk pemerintah India yang tengah berperang melawan charas, getah ganja berwarna hitam dan lengket yang membuat nama Malana mendunia.

Sejak 1985, pemerintah India melarang peredaran ganja. Kepemilikan satu kilogram charas, misalnya, akan dihukum setidaknya sepuluh tahun penjara. Padahal sebelumnya penjualan charas dan opium ini legal pada masa kolonialisme Inggris. Pasalnya, charas adalah bagian tak terpisahkan dari budaya dan ritual kaum Saiwa, komunitas agama terbesar kedua di India.

Namun penduduk di utara India, termasuk Desa Malana, telah menanam ganja selama ratusan tahun. Bagi mereka, mariyuana adalah bagian dari tradisi. Apalagi ganja adalah satu-satunya produk agrikultur yang bisa mereka tanam di lahan tandus pegunungan Himalaya dengan cuaca yang ekstrem. Walaupun begitu, polisi tetap berulang kali datang ke sana untuk membakar hasil panen mereka.

Belakangan, pemerintah setempat menghimbau penduduk untuk memindahkan lahan ganjanya ke tempat yang lebih terpencil. Politisi lokal pun mendesak pemerintah pusat untuk mencari pendekatan lain dan serius menyediakan lapangan kerja yang lebih baik untuk penduduk.

Meski demikian, bisnis ganja di Malana tak kunjung surut. Semakin banyak turis lokal dan asing yang datang ke desa ini untuk menjajal getah ganja yang tergolong berkualitas paling baik di dunia. Mereka juga tak ketinggalan membeli produknya yang terpopuler, yakni malana cream, minyak getah ganja yang dibuat dari tanaman berbibit unggul.

Banjirnya konsumen mengubah kehidupan desa. Pada 2016 saja, pemerintah lokal memperkirakan terdapat 240 hektar lahan ganja dengan hasil panen mencapai 12.000 kilogram. Jumlah aslinya diyakini jauh lebih tinggi mengingat banyaknya lahan tersembunyi di kaki-kaki gunung yang sulit dicapai oleh aparat keamanan.

Fakta Menarik Lainnya Tentang Malana

Selain terkenal akan ganja, Malana juga memiliki sejumlah aturan yang mesti dipatuhi pengunjung saat kemari, seperti tidak boleh menyentuh penduduk maupun barang-barang mereka tanpa izin. Penduduknya memang ramah, tapi pastikan untuk selalu menjaga jarak dan tidak menyentuh barang apa pun di desa tersebut. Para penjaga toko bahkan akan meminta pembeli meletakkan uang dan barang-barang di meja konter, sehingga tak ada kontak fisik. Bila terjadi kontak fisik, mereka akan bergegas mandi.

Aturan ini rupanya berlaku karena penduduk setempat menganggap diri mereka adalah keturunan Aleksander Agung, dan karena itulah derajat mereka lebih tinggi dari yang lain. Bahasa mereka, Kanashi, dianggap sakral dan orang luar dari desa lain tidak diperbolehkan menggunakan yang sama. Kuil juga tidak boleh dimasuki turis agar tak disentuh oleh tangan-tangan orang asing.

Berikut peraturan desa lainnya.

  • Foto diperbolehkan, namun jangan mengambil video.
  • Memasang paku pada pohon dilarang karena dapat merusak pohon.
  • Membakar kayu juga dilarang di hutan-hutan di Malana.
  • Hanya ranting kering yang diizinkan untuk dibawa keluar hutan.
  • Perburuan hewan liar tidak diperbolehkan tanpa izin dewan desa. Itu pun hanya selama periode tertentu.
  • Bila ada hewan liar yang menyerang kawanan domba dan kambing penduduk desa, para pemburu dikirim ke padang rumput untuk membunuh mereka. Bila seekor beruang terbunuh, pemburu itu boleh membawa pulang hasil tangkapannya, tetapi harus menyetor bulunya untuk upacara sesaji.
  • Peradilan di Malana berbeda dari tempat lain di India. Untuk menyelesaikan suatu konflik, penduduk yang terlibat masing-masing mengiris kaki depan seekor domba, meracuninya, dan menjahitnya kembali. Orang yang dombanya mati pertama dianggap kalah dalam kasus tersebut.
  • Intervensi polisi tidak diperbolehkan, tetapi jika terdakwa ingin mencari bantuan polisi dia harus membayar denda 1.000 rupee ke dewan desa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here