Penyair Pablo Neruda Pernah Tinggal di Batavia

Tak banyak yang tahu bahwa penyair kenamaan asal Cile Pablo Neruda ternyata pernah tinggal di Jakarta – yang namanya ketika itu masih Batavia – sebagai seorang anggota korps diplomatik dan bahkan sempat menulis beberapa karya puisi.

Dalam memoarnya yang diterbitkan pada 1974 berjudul “La Soledad Lumiosa” (Kesendiran yang Gilang-Gemilang), penyair ternama asal Cile ini menuliskan pengalamannya tinggal di Asia. Ketika pertama kali bergabung dalam korps diplomatic Cile pada 1927, ia segera ditugaskan ke Yangon, kemudian dipindahtugaskan ke Kolombo, dan pada penempatan terakhirnya di Asia pada 1930, ia ditugaskan ke Jakarta, yang ketika itu merupakan pusat dari pemerintahan VOC.

Insiden Tinta

Kedatangan Neruda pertama kali di Batavia ternyata menyimpan kisah lucu. Berniat menulis telegram untuk pemerintahnya di Cile karena kedatangannya ditolak oleh pejabat Belanda, tiba-tiba tinta untuk menulis habis. Neruda memanggil staf hotel untuk meminta tinta dengan memperagakan gerakan menulis sambil berkata, “Ink! Ink!”. Petugas hotel berseragam putih tanpa alas kaki itu tentu saja tidak mengerti bahasa Inggris, sehingga ia hanya terbengong.

Maka dipanggillah staf hotel yang lain dan Neruda mengatakan hal yang sama, namun tak satu pun yang mengerti arti kata “ink” hingga delapan orang berdatangan. Akhirnya ada satu orang yang menangkap maksudnya dan berteriak, “Tinta! Tinta!” Kini giliran Neruda yang terbengong karena kata tinta dalam bahasa Melayu memiliki arti yang sama dalam bahasa Spanyol.

Setelah tinggal sementara waktu di hotel, ia kemudian dipindahkan ke rumah dinasnya di Jalan Probolinggo No. 5, atau dalam bahasa Belanda tercatat sebagai Probolinggoweg 5.

Dalam memoir tersebut ia menuliskan, “Rumah baruku di Batavia terletak di sebuah jalan bernama Probolingo. Rumah itu terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Aku tidak punya mobil, namun rumah itu memiliki garasi yang tentu saja selalu kosong. Walau mungil, namun rumah itu lebih dari cukup untuk kutinggali sendiri. Aku memperkerjakan seorang juru masak wanita dari Jawa. Ia berasal dari keluarga petani, berkepribadian menawan, dan egaliter. Aku juga memperkerjakan seorang asisten rumah tangga yang juga dari Jawa. Tugasnya mengatur meja makan dan membenahi pakaianku.”

Kini, Jalan Probolinggo di kawasan Gondangdia masih tetap lengang, walau letaknya tak jauh dari Jalan Sutan Syahrir (dulu namanya Grisseweg) yang ramai karena menghubungkan kawasan perumahan elit di sepanjang kanal yang dibangun Belanda. Ketika Neruda tinggal di Jalan Probolinggo No. 5, sedang dibangun perumahan elit Nieuw Gondangdia dengan unit-unit bertipe vila. Jalan Probolinggo sendiri waktu itu pun baru selesai dibangun sebagai bagian dari infrastruktur dari kawasan perumahan tersebut.

Masa-masa Muram

Selama berada di Batavia, Neruda mengalami masa-masa kesepian dan putus asa. Ia berharap kekasihnya yang tinggal di Cile bersedia menyusulnya, namun hal tersebut tidak pernah terjadi. Dalam surat kepada ayahnya yang ia kirimkan dari Weltvreden (kini kawasan Lapangan Banteng) tertanggal 15 Desember 1930, ia menuliskan bahwa ia telah menikahi seorang wanita berdarah campuran Belanda-Melayu dari keluarga terhormat yang tinggal di Jawa bernama María Antonia Hagenaar Vogelzanz (lahir di Djogjakarta pada 1900 dan wafat di Den Haag pada 1965) yang dipanggilnya Manica.

Walau begitu, perasaan terisolasi di Batavia, negeri yang jauh dari Cile tercermin dari puisi-puisi surealis bertema muram yang ditulisnya. “El Deshabitado” (Yang Tak Berpenghuni) ditulis Neruda tak lama setelah ia tiba di Batavia. Kondisi hatinya yang tak menentu itu juga dipicu setelah mengetahui bahwa konsul yang ia gantikan posisinya tidak pernah mengerjakan tugasnya karena lebih suka tinggal di Paris. Neruda lah yang harus membenahi ketidakberesan pekerjaan tersebut, namun ia merasa gagal karena sudah terlalu banyak masalah yang tidak diselesaikan bertahun-tahun.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here