Get Lost Indonesia mengajak 24 pembaca menuju Pulau Sumba yang belakangan ini semakin populer karena menyimpan keindahan yang luar biasa. Diselenggarakan pada 16 hingga 19 Agustus 2017, perjalanan yang didukung Bag’s City ini disambut antusias karena sebagian besar peserta belum pernah ke Pulau Sumba.
HARI 1
Karena peserta tak hanya dari Jakarta, namun juga Yogyakarta dan Semarang, mereka baru berjumpa dengan seluruh rombongan ketika transit di Denpasar dalam perjalanan menuju Bandara Tambolaka di Sumba Barat. Penerbangan dari Denpasar ke Tambolaka ditempuh selama 50 menit. Karena masih pagi dan kondisi cuaca baik, tidak ada penundaan jadwal, sehingga pesawat pun mendarat sesuai jadwal pada pukul 12:00 WITA.
Setelah mengambil bagasi, peserta langsung diajak menuju Pantai Watu Malando, yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dari bandara. Karena lokasinya jauh dan perut telah lapar, dalam perjalanan ke sana, mampirlah di restoran setempat untuk mengisi perut. Pantai Watu Malando sendiri berupa pantai berpasir putih yang perairan dihiasi tebing-tebing karst raksasa. Meski tak seimpresif tebing karst di Raja Ampat, panoramanya tetap mengesankan.
Tak jauh dari sana, terdapat Pantai Bwanna yang memiliki formasi batu kapur melengkung menyerupai pintu masuk gua. Penyuka serial Game of Thrones mungkin akan langsung teringat Azure Window di Malta yang roboh pada Maret 2017. Bedanya, Azure Window berada di perairan, sementara bebatuan karang Pantai Bwanna terhampar di tepi pantai yang kerap dikunjungi penyuka selancar dan panjat tebing ini. Setelah puas mengambil foto, peserta pun diantar menuju Hotel Sinar Tambolaka untuk check-in, kemudian makan malam dan istirahat.
HARI 2
Karena hari ini bakal banyak bermain air, para peserta pun memanfaatkan tas Thule dari Bag’s City yang telah dibagikan di hari sebelumnya. Tas ini tak hanya menampung banyak barang, namun juga tahan segala cuaca, sehingga ponsel dan kamera bakal aman dari percikan air maupun debu.
Tujuan pertama di hari kedua ini adalah Pantai Mandorak. Lokasinya terpencil, sehingga untuk mengaksesnya pun mesti melalui jalan setapak dengan naik motor sekitar 30 menit dari Desa Pero Batang, kemudian berjalan kaki sekitar satu kilometer. Berada di balik tebing curam dan berbatasan dengan batu karang menyerupai mulut gua, perairannya yang jernih ini lebih cocok untuk berselancar karena ombaknya yang cukup besar.
Dari Pantai Mandorak, perjalanan dilanjutkan menuju Danau Weekuri yang berair payau dan berwarna biru kehijauan. Terletak tak kalah tersembunyi dari destinasi sebelumnya, tepatnya di Kodi Utara, Sumba Barat Daya, danau ini dikelilingi batu karang yang tinggi dan tajam serta hutan rimba. Saat itu matahari bersinar cerah, sehingga danau ini tampak semakin indah berpadu dengan langit Sumba yang biru berhiaskan gumpalan awan putih.
MENGENAL BUDAYA
Puas bermain air, para peserta diajak menuju kampung adat Ratenggaro. Awalnya, kampung ini – yang memiliki sejumlah kubur batu tua – berlokasi di tepi pantai. Namun, karena abrasi yang perlahan menggerus kawasan pantai, kampung pun dipindahkan ke puncak dinding tebing dalam lengkungan muara Sungai Waiha, atau sekitar 200 meter dari lokasi sebelumnya.
Yang membuat kampung adat ini unik adalah atap pada rumahnya yang menjulang hingga 15 meter. Tinggi rendah atap berbahan dasar jerami ini ditentukan berdasarkan status sosial penghuninya. Sementara rumahnya sendiri yang berupa rumah panggung terdiri beberapa tingkat, di mana tingkat terbawah untuk hewan peliharaan, tingkat kedua untuk tempat tinggal, dan tingkat teratas untuk menyimpan hasil panen, serta meletakkan tanduk kerbau sebagai simbol kemuliaan.
Di sini, para peserta juga diajak ke Pantai Ratenggaro untuk melihat ratusan kubur batu. Konon, Desa Ratenggaro ini (namanya terdiri dua kata, yakni “rateng” yang berarti kuburan dan “garo” yang berarti orang Garo) dulu memang milik suku Garo sebelum kemudian kalah perang, namun suku yang menang perang kemudian membunuh seluruh desa dan menguburkan mereka di tempat yang sama. Walau desa kini telah dipindahkan, namun kubur batu peninggalan Megalitikum tersebut sengaja dibiarkan berserakan di sekitar pantai.
Setelah makan siang di Pantai Pero, peserta menuju Air Terjun Lapopu yang ditempuh dalam sekitar 2,5 jam perjalanan. Tersembunyi di tengah hutan, akses ke sini harus menggunakan jip berfitur four-wheel drive hingga ke tepi sungai, di mana kemudian perjalanan dilanjutkan berjalan kaki menyusuri tepi sungai yang licin selama sekitar 10 menit.
Berada di kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru, air terjun yang terbentuk akibat gerakan patahan di alur sungai sehingga membentuk tebing terjal ini tercurah bertingkat-tingkat setinggi 70 meter. Arus sungainya deras, sehingga bila berenang di sini mesti berhati-hati agar tidak terseret atau terbentur bebatuan sungai. Namun, karena kolamnya tak terlalu dalam, masih dapat berdiri sebatas pinggang hingga dada orang dewasa dengan dasar berpasir yang cukup nyaman untuk dipijak.
Tak cukup rasanya melewatkan satu jam di air terjun ini, terutama setelah seharian terbakar terik matahari, namun setelah diingatkan bahwa perjalanan ke hotel cukup jauh dan kegiatan keesokan hari akan sama padatnya, mereka akhirnya beranjak juga dari air terjun berair sejuk tersebut.
HARI 3
Setelah sarapan dan check-out dari hotel, peserta menuju kampung adat Praijing dengan rumah-rumah tradisionalnya yang beratap menjulang bagai menara. Desa ini dikunjungi dalam perjalanan ke Sabana Puru Kambera yang terkenal akan padang rumputnya yang luas dan kawanan kuda Sumba liar yang kerap merumput di sini. Sabana di musim kemarau yang menguning keemasan yang berpadu dengan birunya langit membuat peserta serasa di Afrika.
Walau belum puas memotret, Anton Chandra selaku pemandu mengajak para peserta untuk kembali ke mobil. “Perjalanan masih jauh. Lagipula, tempat tujuan selanjutnya bakal lebih fotogenik,” bujuknya.
Benar saja, setelah dua jam perjalanan, tibalah di Bukit Wairinding. Berbeda dengan Puru Kambera yang sabananya terhampar luas di daratan yang datar, sabana di Wairinding memiliki kontur yang berbukit-bukit. Bila datang di musim hujan, padang rumput tersebut akan mirip perbukitan di Selandia Baru, sementara di musim kemarau, suasananya akan mirip Afrika. Setelah puas memotret, perjalanan pun dilanjutkan ke Pantai Walakiri untuk menikmati matahari terbenam, sebelum menuju penginapan di Waingapu untuk istirahat.
HARI 4
Sebagian peserta beristirahat lebih awal karena akan bangun subuh untuk menikmati panorama matahari terbit dari Bukit Persaudaraan. Berada tak jauh dari pusat kota Waingapu, bukit yang pernah menjadi lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas ini menawarkan panorama bukit dan sawah dari ketinggian. Dari sini jugalah peserta dapat melihat kota Waingapu yang dibelah Sungai Kambaniru yang eksotis.
Sekitar pukul 07:00, peserta kembali ke hotel untuk sarapan dan check-out, sebelum menuju bandara untuk pulang ke kota asal masing-masing. Dalam perjalanan, panitia mengundi hadiah yang telah ditunggu-tunggu peserta sejak awal perjalanan, dan kali ini, keluarlah Ristantio sebagai yang beruntung mendapatkan satu unit Lenovo K6 Note.