Pameran The Paper Menagerie di ISA Art Gallery menghadirkan eksplorasi mendalam tentang peran kertas dalam kehidupan sehari-hari. Terinspirasi dari cerpen ‘The Paper Menagerie’ karya Ken Liu yang menggambarkan bagaimana lipatan kertas mampu menyimpan kenangan dan emosi dalam kehidupan manusia, pameran ini mengajak audiens untuk melihat kertas bukan sekadar material sederhana, melainkan medium yang kompleks dan kaya makna.
Sejak dulu, kertas telah digunakan sebagai alat komunikasi, dokumentasi, hingga sarana perlawanan dalam berbagai konteks sosial dan politik. Di Asia Tenggara, sejarah penggunaan kertas dapat ditelusuri melalui daluang di Jawa hingga saa paper di Thailand, yang menjadi bagian penting dalam praktik budaya setempat. Evolusi kertas dari sekadar alat pencatat hingga menjadi bagian dari seni konseptual menunjukkan bagaimana material ini dapat merekam sejarah, gagasan, bahkan identitas personal maupun kolektif.

Dengan menampilkan 29 seniman dari berbagai latar belakang, pameran ini menghadirkan beragam pendekatan artistik dalam mengeksplorasi medium kertas. Para seniman menggunakan sejumlah teknik untuk menciptakan karya yang tidak hanya berwujud visual, tetapi juga mengandung narasi yang kuat. Beberapa di antaranya mengeksplorasi tema ingatan dan warisan budaya, sementara yang lain menyoroti isu sosial dan politik melalui intervensi pada kertas sebagai objek.
Salah satu karya yang menarik perhatian dalam pameran ini adalah milik A. Sebastianus, yang menggabungkan teknik batik dengan praktik fotografi kontemporer. Lewat teknik wax-resist yang dipadukan dengan pencetakan sutra, ia menciptakan lapisan-lapisan visual yang merefleksikan kompleksitas identitas manusia.

Karya Condro Priyoaji dalam ‘Reflection Eternal’ (2025) juga menawarkan eksplorasi unik terhadap kertas sebagai lebih dari sekadar permukaan. Dengan memanfaatkan permainan cahaya dan pigmen, ia menciptakan kesan seolah-olah bayangan menjadi subjek utama dalam komposisi. Karya ini menyoroti sifat transien dari cahaya dan bagaimana elemen yang tampak sementara ini justru mampu merekam ingatan dan perasaan yang mendalam.
Ella Wijt lewat karya‘Portal’, ‘Spring Rising’, dan ‘The Wives of the Nightfall’ (2025) menghadirkan pendekatan yang lebih simbolis dengan nuansa mitologi dan spiritualitas. Menggunakan cat air, dermatograf, pensil di atas kertas, ia menciptakan komposisi yang menggabungkan unsur mitologi, pengalaman personal, dan refleksi atas perempuan dalam berbagai konteks budaya.

Sementara itu, dalam ‘Kind(s)’ (2019) karya Ida Lawrence, teks yang tersemat di dalam komposisi menjadi elemen penting yang harus diamati lebih dekat. Pendekatan ini mencerminkan bagaimana memori sering kali tersusun dalam fragmen-fragmen kecil yang tersebar dan harus disusun kembali untuk membentuk narasi utuh.
Selain para seniman tersebut, pameran ini juga menampilkan karya dari Adi Sundoro, Anang Saptoto, Anastasia Astika, Arahmaiani, Ardi Gunawan, Ashley Tay, Aurora Arrazie, Clea Soebroto, David Bakti, Dzikra Afifah, Egga Jaya, Etza Meisyara, Hardi Budi, HUUH Collective, Iwan Effendi, Jumaadi, Keenan Tham, Mujahidin Nurrahman, Rega Ayundya, Restu Ratnaningtyas, Rui Kai Ho, Ruth Marbun, Widi Pangestu, Yosefa Aulia, dan Zikry Rediansyah. Masing-masing seniman membawa perspektif unik dalam memaknai kertas sebagai medium dan metafora, menciptakan dialog visual yang kaya antara material, sejarah, dan ekspresi pribadi.

Penikmat seni dapat melihat lebih banyak karya dari para seniman ini dalam pameran The Paper Menagerie yang berlangsung hingga 4 April di ISA Art Gallery, Ground Floor, Wisma 46, Jakarta Pusat. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi Instagram @isaart.id.