Sebagai destinasi wisata, Bukittinggi menawarkan keindahan alam dengan liukan perbukitan hijau hingga pegunungan megah. Tak heran di masa lalu kota ini keindahannya disetarakan dengan Paris dan dijuluki Parijs van Sumatra.
Namun, kota ini tak hanya menyimpan lanskap yang menawan. Bukittinggi juga memegang peranan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia dan sempat menjadi ibu kota sementara setelah Belanda menduduki ibu kota Yogyakarta dalam Agresi Milter tahun 1948.
Tentu saja berkunjung ke Bukittinggi tak lengkap tanpa mampir ke Jam Gadang. Menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi ini memiliki jam berukuran besar di empat sisinya, yang berperan sebagai penanda kota serta objek wisata.
Nama gadang sendiri dalam bahasa Minangkabau berarti besar. Hal ini selaras dengan bentuknya yang memang berupa menara besar setinggi 25 meter.
Walau kerap dilewati pejalan kaki maupun pengendara, tak banyak yang tahu kalau Jam Gadang yang selesai dibangun pada 1926 ini menyimpan sejumlah keunikan.
Dari segi material bangunan, misalnya, menara jam ini hanya terbuat dari campuran kapur, pasir putih, dan putih telur. Meski demikian, menara jam tersebut tetap kokoh walau sempat dihantam gempa pada 2007 lalu. Jamnya pun tak retak, hanya bandulnya yang patah.
Menara jam setinggi 26 meter ini sendiri merupakan pemberian Ratu Belanda Wilhelmina untuk Rook Maker, sekretaris kota Bukittinggi semasa pemerintahan Hindia Belanda. Pembangunannya menelan biaya hingga 3.000 gulden, angka yang tergolong sangat besar pada masa itu.
Uniknya, bentuk atapnya yang sekarang terlihat saat ini tak sama dengan saat pertama kali dibangun. Awalnya, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam di atasnya. Semasa pendudukan Jepang, atapnya diubah menjadi bentuk pagoda. Barulah setelah Indonesia merdeka, atapnya dirombak lagi menjadi atap pada rumah gadang.
Keunikan lainnya adalah angka romawi IV pada jam ditulis dengan IIII, dan hingga kini belum diketahui alasannya. Beberapa literatur menyebutkan hal ini dikarenakan simbol IV bisa diartikan I Victory, dan dikhawatirkan akan menumbuhkan semangat perlawanan dari rakyat setempat kepada Belanda.
Namun kebenarannya belum diakui, karena ada jam lain yang menggunakan IIII, seperti jam milik raja Prancis Louis XIV yang dipesan khusus pada pembuat jam kerajaan.
Bila ingin berkunjung ke sini, datanglah saat pagi atau sore hari ketika cuaca tak terlalu terik. Sembari bersantai, kamu bisa sekalian mencicipi makanan khas Minangkabau yang dijajakan oleh para pedagang di sekitar Jam Gadang. Jangan lupa membawa kamera karena banyak spot menarik untuk berfoto di tempat ini.
Teks: Melinda Yuliani