Mendaki gunung kini menjadi salah satu pilihan aktivitas outdoor yang menyenangkan dan digemari banyak kalangan. Tetapi untuk mendaki gunung yang memiliki ketinggian di atas 2.000 mdpl mungkin membutuhkan waktu berhari-hari dengan medan pendakian yang juga tidak mudah. Karena itu, gunung-gunung di bawah 1.000 mdpl kemudian dipilih sebagai alternatif untuk para pendaki pemula. Salah satunya yang direkomendasikan dengan lokasi tak terlalu jauh dari pusat kota Jakarta adalah Gunung Lembu di Purwakarta.
Setinggi 792 mdpl, Gunung Lembu ini biasanya didaki secara “tektok” alias satu hari saja tanpa bermalam. Pendaki biasanya memulai pendakian di pagi hari, kemudian turun menjelang matahari terbenam. Bila berniat menikmati sunrise, disarankan untuk mendaki sedari malam atau subuh agar tak ketinggalan momen.
Penamaan Gunung Lembu merujuk pada bentuk gunung yang terlihat seperti sapi yang sedang duduk dari kejauhan. Untuk mencapai puncak Gunung Lembu, pendaki harus melewati tiga pos dengan jalur yang cukup pendek, tetapi lumayan curam di beberapa titik. Namun trek masih bersahabat dan bisa dilewati oleh orang yang belum pernah mendaki sekalipun. Dari base camp menuju menuju pos pertama, jalur didominasi hutan bambu dengan kontur tanah merah berbatu. Di beberapa titik tanjakan terjal sudah dibuat undakan tangga sehingga memudahkan pendaki melangkah.
Perjalanan dari pos pertama ke pos kedua didominasi oleh hutan dengan kerapatan sedang khas hutan di dataran rendah. Di sepanjang jalur ini, pendaki bisa beristirahat di warung makan sederhana yang tersedia di beberapa titik. Menuju pos tiga, jalur pendakian akan terasa menantang karena medannya berupa bebatuan besar yang cukup terjal dengan jalur sempit dan tingkat kemiringan yang curam. Embusan angin yang kencang juga terkadang bisa membuat tubuh pendaki sedikit oleng. Jalur ini menjadi tantangan tersendiri dan harus dilalui dengan kehati-hatian ekstra.
Puncak Gunung Lembu berupa tanah datar yang tidak terlalu luas dan biasa digunakan untuk mendirikan tenda bagi pendaki yang ingin camping. Datarannya mungkin hanya bisa menampung tiga sampai empat tenda saja.
Turun sedikit dari puncak sekitar 100 meter, pendaki akan sampai di Batu Lembu, yaitu batu besar yang merupakan spot favorit di Gunung Lembu. Letaknya persis di bibir tebing jurang dan langsung menghadap Waduk Jatiluhur. Pemandangan indah waduk, persawahan hijau berlatar Gunung Parang yang berdiri kokoh, dan lanskap kota Purwakarta yang terlihat di kejauhan, semua bisa disaksikan dari atas batu ini.
Gunung Lembu tak hanya terkenal dengan keindahannya saja, namun juga sarat akan nuansa mistis. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar, yaitu makam Jonggrang Kalapitung dan makam Raden Suryakencana. Makam ini berada di jalur yang akan dilewati pendaki saat menuju puncak Gunung Lembu. Mitosnya, pendaki tidak diizinkan untuk bersiul di gunung ini dan harus menjaga perilaku saat mendaki.
Terletak di Dukuh Manunggal, Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Gunung Lembu bisa diakses dengan berkendara selama sekitar 2,5 jam dari pusat kota Jakarta via Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Fasilitas yang tersedia di base camp pendakian sudah cukup memadai, mulai dari area parkir, toilet, musala, serta beberapa warung makan. Harga tiket masuk Gunung Lembu Rp10.000 per orang untuk one day trip, dan Rp15.000 per orang bila ingin berkemah.
Tips Mendaki Gunung Lembu
- Kenakan pakaian yang nyaman dan sepatu gunung dengan daya cengkeram yang baik karena di beberapa titik terdapat medan yang licin dan bebatuan yang tajam.
- Bawa losion anti nyamuk karena di sepanjang jalur pendakian banyak sekali nyamuk dan akan sangat mengganggu.
- Tidak perlu membawa logistik terlalu banyak karena sudah terdapat warung makan di jalur pendakian.
- Waspada terhadap barang bawaan karena kawanan monyet liar yang ada di puncak cukup jahil.
- Patuhi protokol kesehatan dan jangan lupa untuk membawa turun kembali sampah. Jangan pula melakukan vandalisme, baik di batu-batu besar yang ada di Gunung Lembu maupun di batang-batang pepohonan.
Teks: Dionesia Ika | Editor: Melinda Yuliani