Pemburu Gelap Mengganas Saat Pariwisata di Afrika Selatan Berhenti

Sama seperti negara-negara lainnya, saat ini Afrika Selatan sedang berjuang melawan pandemi corona dan telah mengunci wilayahnya sejak 23 Maret 2020. Otomatis, industri pariwisata yang didominasi oleh wisata alam pun ikut berhenti untuk sementara waktu. Namun saat masyarakat berdiam diri di rumah, para pemburu gelap malah semakin ganas melancarkan aksinya.

Setidaknya sudah ada sembilan badak yang menjadi korban perburuan liar ini sejak Afrika Selatan dikunci. Sementara di Botswana, negara tetangga Afrika Selatan, ada enam badak lagi yang mati diburu.

Perburuan di Botswana dan Afrika Selatan sebenarnya tidak umum terjadi. Hal ini karena kedua tempat tersebut merupakan lokasi wisata populer di Afrika dan kerap dianggap sebagai surga untuk melihat satwa liar. Para pemburu cenderung menghindari tempat-tempat ramai wisatawan.

“Satwa liar di Afrika tidak hanya dilindungi oleh para penjaga hutan, mereka juga dilindungi oleh keberadaan turis,” jelas pengarah program konservasi spesies untuk Afrika di Wildlife Conservation Society, Tim Davenport seperti dilansir dari New York Times. “Pemburu liar tidak akan datang ke tempat-tempat penuh turis, mereka akan mencari tempat tersembunyi yang jarang dikunjungi.”

Namun kini pemburu liar bisa lebih leluasa bergerak dengan diberlakukannya lockdown dan ditutupnya perlintasan antarnegara. Penggiat konservasi satwa khawatir hewan-hewan liar Afrika akan menjadi korban selanjutnya dalam pandemi corona ini. Tanpa turis dan pemandu wisata, para penjaga hutan kewalahan mengawasi lahan seluas jutaan hektar yang masih sangat liar ini. Dengan industri pariwisata yang terus menurun, beberapa pelaku usaha juga terpaksa merumahkan penjaga-penjaga hutannya. Area-area konservasi yang sekaligus menjadi destinasi wisata pun makin rentan dimasuki pemburu liar.

Selama ini, konservasi hewan di Afrika memang sangat bergantung pada industri pariwisata. Di Afrika Selatan misalnya, sekitar 85 persen dana untuk otoritas pengelolaan satwa liar dan lahan publik negara tersebut, South African National Parks, bersumber dari industri pariwisata, seperti biaya masuk taman dan paket-paket wisata lainnya. Pendapatan yang datang dari turis kemudian digunakan untuk menggaji para penjaga hutan yang bertugas melindungi area ini dari pemburu liar. Di saat-saat rawan seperti ini, tempat-tempat konservasi harus memutar otak agar bisa tetap mempekerjakan para penjaga hutan dengan tidak adanya pemasukan sama sekali. Apalagi jumlah pemburu liar juga diperkirakan akan makin bertambah seiring dengan memburuknya kondisi ekonomi saat ini.

The Nature Conservancy, organisasi lingkungan yang berbasis di Amerika Serikat, baru-baru ini mulai melakukan penggalangan dana untuk pusat-pusat konservasi Afrika yang membutuhkan bantuan keuangan. Dengan bantuan ini dan juga dana cadangan pribadi, pusat-pusat konservasi mungkin dapat bertahan hingga beberapa bulan ke depan. Namun, dampak penuh dari pandemi corona terhadap kelangsungan hidup satwa liar di Afrika masih harus ditunggu. Satu hal jelas terlihat dari kejadian ini, usaha konservasi hewan tidak bisa terlalu bergantung pada industri pariwisata.

Teks: Levana Florentia | Editor: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here