Mengunjungi Desa Suku Asmat dan Melihat Ukirannya yang Mendunia

Suku Asmat yang mendiami kabupaten dengan nama yang sama adalah suku terbesar di Papua yang terkenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik dan telah mendunia. Lokasi desa-desa suku Asmat jauh dan terpencil, sehingga pelancong yang berniat kemari mesti mengalokasikan perjalanan masing-masing dua hari untuk berangkat dan pulang.

Gerbang menuju Asmat adalah Timika, yang dapat ditempuh dari Jakarta dengan penerbangan langsung oleh Batik AirGaruda Indonesia juga melayani penerbangan ke Timika dari Denpasar dan Makassar.

Setibanya di Timika, perjalanan dilanjutkan dengan naik pesawat kecil jenis TwinOtter dan Caravan ke Ewer selama 45 menit. Pesawat ini berkapasitas maksimal 10 orang dengan jadwal penerbangan tiga kali seminggu. Opsi lainnya bisa naik kapal, meski durasinya jauh lebih lama, yakni hingga sembilan jam. Dari Ewer, Agats yang merupakan ibu kota Asmat sekaligus titik awal untuk menjelajahi ke-12 distrik di Asmat, masih sekitar 30 menit perjalanan naik kapal.

Karena wilayah Asmat 90 persennya merupakan rawa dengan sungai yang membelah hutan, transportasi utama di sini adalah kapal. Karena didominasi rawa itu jugalah Distrik Asmat sering dijuluki Kota di Atas Papan.

Berkeliling berbagai distrik di sini memang agak sulit dan disarankan untuk berkoresponden dengan Keuskupan Agats sebelum kedatangan agar mereka dapat membantu mengatur perjalanan, yaitu dengan menyertakan wisatawan ke dalam daftar kunjung para biarawan ke berbagai distrik.

Desa Er

Salah satu hal paling berkesan dari kunjungan ke Asmat adalah Desa Er yang letaknya berdampingan dengan Desa Sa dengan dipisahkan sungai. Berbeda dengan Agats, Desa Kembar Sa dan Er yang dibelah Sungai Pomatsj ini sangatlah asri. Listrik di sini juga hanya menyala pukul 18:00 sampai 24:00 WITA.

Selain indah dan damai, keistimewaan Desa Er terletak pada gerejanya yang mengakulturasi budaya Asmat. Gereja ini dibangun dengan mengambil bentuk rumah adat Asmat yang disebut rumah jew.

Bangunan yang memanjang itu dibiarkan kosong tanpa bangku, karena di dalam jew pun lelaki Asmat duduk di lantai. Jew sendiri adalah rumah khusus laki-laki dan sering juga disebut rumah bujang, karena di sinilah laki-laki menimba ilmu kehidupan dari para tetua.

Pada sisi kanan dan kiri ruangan terdapat 18 tungku yang menyimbolkan 18 rumpun dalam suku Asmat yang ada dalam paroki di kawasan tersebut. Tungku-tungku itu berhiaskan patung bis, patung yang digunakan oleh masyarakat Asmat dalam berbagai upacara adat.

Pemahat Asmat

Banyak yang takjub dengan keahlian memahat orang Asmat dan UNESCO pun telah menobatkan ukiran Asmat sebagai warisan budaya dunia. Tanpa desain dan dengan peralatan seadanya mereka menghasilkan ukiran indah yang tersambung sempurna.

Menurut mereka, memahat ada campur tangan roh (leluhur). Proses memahat diawali dengan gambaran di kepala dan itu tercipta dari bisikan roh leluhur. Setelah tahu ingin membuat pahatan seperti apa, wowiwir (sebutan pemahat dalam bahasan Asmat) pergi ke hutan untuk mencari kayu sesuai kebutuhan.

Ketika menemukan kayu yang diinginkan, bukan berarti wowiwir dapat langsung menebang pohon tersebut. Mereka akan melakukan ritual dulu untuk meminta izin kepada nenek moyang supaya pohon tersebut dapat berguna sesuai keinginan. Ketika akan menebang pohon pun mereka harus meminta izin kepada matahari karena suku Asmat sangat menghormati matahari sebagai pemberi kehidupan.

Setelah pohon ditebang, kayunya tidak langsung diambil dan dibawa pulang, melainkan didiamkan dulu satu malam sambil diberi sesaji berupa sagu bakar dan rokok. Selama mengukir, anak perempuan atau istri tidak dibolehkan mendekat, namun anak laki-laki kapan pun diperbolehkan melihat mereka mengukir.

Teks: Melinda Yuliani 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here