Surfing, dari Polinesia untuk Dunia

Olahraga yang menggunakan papan khusus untuk menunggangi ombak ini memang terlihat sederhana. Teknis dasarnya hanya mengejar ombak dengan sebuah papan dan kembali ke pantai sambil menunggangi ombak tersebut. Tapi nyatanya, butuh nyali dan ketrampilan khusus untuk dapat meliuk lincah di antara gulungan ombak yang tingginya kadang hampir menyamai dinding rumah.

Mulai dikenal dan populer di awal abad 20 di Amerika Serikat, kegiatan mengejar dan menunggangi ombak ini kemudian menjadi cepat terkenal karena surfing tak bisa lepas dari gaya hidup bernuansa pantai yang terkesan santai. Gaya hidup santai ini kemudian melejit menjadi tren karena surfing juga memadukan unsur petualangan dan menantang resiko. Ajang kompetisi surfing pun mulai digelar dalam tahun-tahun berikutnya. Para juaranya menjadi idola baru dan gaya hidup “anak pantai” pun kian terkenal di dunia. Bukan hanya soal menunggangi ombak dengan papan selancar, nuansa surfing juga hadir dalam bentuk musik dan gaya pakaian. The Beach Boys, grup musik asal California yang kondang di era 1960-an bahkan meraup sukses besar dengan melantunkan tembang-tembang bernuansa pantai dan surfing, seperti Surfing USA, Surfin’ Safari dan Kokomo.

Gara-gara James Cook

Surfing adalah budaya asal Polinesia yang kemudian dikenalkan ke Barat melalui catatan Joseph Banks yang ikut dalam pelayaran James Cook pada 1779. Dulu, jawara surfing di Polynesia disebut Ali’i. Mereka mendapat perlakuan istimewa berupa lahan pantai pribadi  dan papan selancar dari kayu berkualitas tinggi. Rakyat jelata dilarang berselancar di pantai yang sama dengan Ali’i. Dalam bahasa setempat di Polinesia, surfing disebut he’enalu.

Papan surfing awalnya terbuat dari kayu pohon koa yang banyak tumbuh di daerah Hawaii. Panjang papannya bisa mencapai lima meter dengan bobot yang cukup berat. Sekarang, papan surfing sudah terbuat dari busa polystyrene yang dilapisi dengan fiberglass. Selain ringan, papan ini lebih mudah dikendalikan. Budaya menunggangi ombak ini kian memudar ketika para misionaris Eropa mulai datang ke Polynesia pada 1821 karena banyak adat masyarakat setempat yang kemudian dihapus dan dilarang. Sekarang, ketrampilan menunggangi ombak di atas papan tak banyak lagi dikuasai oleh warga Polynesia.

Para Legenda

Surfing kini tak sekedar olah raga, tapi juga gaya hidup bagi sebagian orang. Nama-nama besar pun bermunculan. Duke Kahanamoku, surfer asal Hawaii ini tercatat sebagai peselancar legendaris yang juga sukses sebagai atlet renang, usahawan dan aktor sebelum 1960-an. Mark Richards, surfer Australia yang sukses dengan gelar juara dunia dari 1979 hingga 1982, juga sukses dengan serial drama di stasiun televisi ABC. Laird Hamilton asal Amerika Serikat bahkan dijuluki The Best of The Best. Konon ia pernah menunggangi ombak setinggi 21 meter dengan kecepatan 80 kilometer per jam.

Dede Suryana asal Desa Cimaja Jawa Barat adalah salah satu surfer terbaik Indonesia. biografinya difilmkan dengan judul Chasing the Waves oleh sutradara asal Inggris, Dave Arnold dan Tyrone Lebon. Indonesia pun memiliki sejumlah pantai ternama untuk surfing, terutama di kawasan selatan pulau-pulau yang tersebar di Nusantara. Namun yang unik adalah Sungai Kampar di Provinsi Riau adalah satu-satunya tempat surfing yang berlokasi di sungai. Gelombang tinggi di sungai ini terjadi pada antara Agustus hingga Desember akibat dari air laut yang pasang. Warga lokal menyebutnya Gelombang Bono atau Gelombang Tujuh Hantu karena gelombang ini datang hingga tujuh lapis.

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here