Galeri Nasional Indonesia membuka tahun 2025 dengan sebuah penghormatan khusus untuk mengenang salah satu tokoh penting seni rupa Indonesia, Raden Soehardi Adimaryono, atau yang lebih dikenal sebagai Hardi.
Pameran bertajuk Jejak Perlawanan “Sang Presiden 2001” ini merangkum perjalanan karier Hardi sebagai seorang seniman visioner yang kritis terhadap realitas sosial dan politik. Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya menjadi refleksi dari kreativitasnya, tetapi juga simbol keberanian dan perlawanan terhadap tekanan rezim Orde Baru.
Hardi merupakan tokoh seni rupa Indonesia yang dikenal dengan karya-karya provokatif dan penuh makna. Pameran ini menghadirkan 78 koleksi yang terdiri dari lukisan, sketsa, hingga memorabilia, termasuk ruangan yang mereplikasi suasana studio Hardi.
Instalasi berbasis teknologi kecerdasan buatan turut melengkapi pameran, menciptakan pengalaman imersif yang menghidupkan kembali semangat sang maestro. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, dalam sambutannya menyebut Hardi sebagai “seniman yang sangat kreatif dan kritis” serta menegaskan bahwa karya-karya Hardi adalah aset nasional yang harus dijaga.
Pameran ini juga menggali jejak sejarah Hardi dalam dunia seni rupa Indonesia. Sebagai salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1975, Hardi menantang dogma estetika lama dan membuka jalan bagi kebebasan berekspresi.
Karya legendarisnya, “Presiden RI Tahun 2001 Suhardi”, menjadi bukti keberaniannya dalam menyuarakan kritik melalui seni. Namun, langkah ini tidak lepas dari risiko; pada tahun 1980, ia sempat ditahan karena karyanya dianggap provokatif. Meski demikian, Hardi tetap konsisten menciptakan karya yang menggugah kesadaran publik.
Dalam setiap lukisannya, Hardi menciptakan narasi yang melampaui medium visual. Ia menjadikan seni sebagai alat transformasi sosial, menggambarkan dinamika politik dan sosial Indonesia dengan keberanian yang tak tergoyahkan.
Hardi sering menulis bahwa seni adalah bentuk komunikasi dengan masyarakat, dan karyanya selalu berusaha melibatkan emosi penikmat seni. Hal ini menjadikan Hardi sebagai figur yang melampaui perannya sebagai seniman, menjadi suara perubahan yang relevan hingga kini.
Pameran ini juga menyoroti sisi personal Hardi, baik sebagai seniman maupun manusia biasa yang penuh dedikasi. Putranya, Jibril Fitra Erlangga, mengungkapkan rasa bangga atas penghormatan ini, menyebut bahwa pameran tersebut akan membuat ayahnya bahagia di alam baka. Selain itu, sejumlah kolega dan seniman lain turut mengenang Hardi sebagai sosok yang tidak hanya berbakat, tetapi juga inspiratif dalam keberaniannya mengkritisi berbagai isu sosial dan politik.
Sebagai generasi yang hidup di era modern, pameran ini mengingatkan pentingnya memahami seni sebagai medium untuk menyuarakan isu-isu penting dalam masyarakat. Hardi, melalui berbagai karyanya, menunjukkan bahwa seni mampu menciptakan dialog dan menyampaikan pesan-pesan yang kuat tanpa kehilangan nilai estetisnya.
Pameran yang berlangsung hingga 26 Januari 2025 ini merupakan kesempatan langka bagi publik untuk melihat lebih dekat perjalanan kreatif seorang seniman besar. Dengan instalasi yang menarik dan narasi yang mendalam, pameran ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan, tetapi juga pengingat akan pentingnya seni dalam membentuk identitas bangsa.
Melalui karya dan perjuangannya, Hardi mengajarkan bahwa keberanian berpikir dan bertindak adalah inti dari seni yang sejati. Kini, giliran kita untuk menjaga semangat tersebut tetap hidup, memastikan bahwa warisan yang ditinggalkan Hardi terus menginspirasi generasi mendatang.