Pameran seni bertajuk ‘Customised Postures, (De)colonising Gestures’ kini hadir di Gajah Gallery Jakarta dan akan berlangsung hingga 16 Juni 2024. Pameran ini dikuratori oleh sejarawan seni Alexander Supartono dan mengeksplorasi hubungan antara citra fotografi kolonial dengan praktik seni kontemporer di Asia Tenggara.
Setelah sukses di Singapura, pameran ini dibawa ke Jakarta dengan tujuan memperluas jangkauan dan dampaknya. Jakarta, dengan kekayaan budaya dan ekosistem seni yang dinamis, menawarkan platform yang ideal untuk mengeksplorasi tema-tema kompleks seperti kolonialisme, identitas, dan ekspresi artistik melalui karya-karya seni.
Pameran ini menampilkan karya dari berbagai seniman ternama Asia Tenggara, termasuk Redza Piyadasa, Kiri Dalena, Jao San Pedro, Budi Santoso, Aris Prabawa, Abednego Trianto Kurniawan, Suzann Victor, Octora, Mangu Putra, dan Handiwirman Saputra. Karya-karya mereka mencakup berbagai medium, seperti lukisan, patung, gambar, fotografi, dan instalasi multimedia.
Melalui pameran ini, pengunjung diajak untuk melihat bagaimana fotografi era kolonial digunakan untuk mengatur postur dan gestur tubuh subjek di wilayah koloni. Foto-foto sejarah tersebut menunjukkan bagaimana teknologi representasi modern mempengaruhi bahasa tubuh para subjek kolonial.
Salah satu karya yang menarik perhatian adalah ‘Mereka Yang Pernah Hadir (Those Who Were Here Before)’ karya Mangu Putra. Lukisan ini menggambarkan sekelompok tentara Indonesia dalam formasi, diambil dari sebuah rekaman berita zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia. Wajah-wajah mereka digambarkan buram dan tidak jelas, mengaburkan identitas mereka, mencerminkan kondisi rekaman asli yang buram.
Kiri Dalena menyajikan instalasi kain kanvas berjudul ‘Philippine Constabulary Sequence 1’. Karya ini menggunakan foto-foto yang diambil oleh pejabat kolonial Amerika, Dean Worcester, untuk mengangkat pertanyaan tentang asal usul Angkatan Darat Filipina dan hubungannya dengan kepentingan pasukan kolonial Amerika.
Suzann Victor dari Singapura menggunakan medium lensa untuk membebaskan sisi kemanusiaan subjek dalam foto sejarah migrasi Singapura yang sering kali digambarkan secara tidak manusiawi. Sementara Jao San Pedro dari Filipina menggunakan kecerdasan buatan untuk menciptakan 100 potret berdasarkan transkrip pesan suara, menghasilkan wajah-wajah yang mencekam dan terdistorsi.
Pameran ini memperlihatkan bagaimana seniman kontemporer di Asia Tenggara mengembangkan dan memodifikasi tradisi postur tubuh melalui berbagai proses variasi, seleksi, dan pewarisan. Transformasi ikonografi ini tidak hanya mengubah bahasa visual dari masa kolonial menjadi bentuk seni kontemporer yang lebih halus, tetapi juga berupaya mendekolonisasi gestur dalam representasi fotografi Asia Tenggara.
Gajah Gallery mengundang masyarakat Jakarta dan sekitarnya untuk mengunjungi pameran ini dan menyaksikan bagaimana seni kontemporer dapat menjadi medium pembebasan dari masa lalu yang penuh penindasan. Dengan menghadirkan karya-karya yang reflektif dan kritis, ‘Customised Postures, (De)colonising Gestures’ diharapkan dapat menginspirasi perspektif baru dan memperkaya wacana tentang hubungan antara masa lalu kolonial dan praktik seni masa kini.
Pameran ini merupakan kesempatan berharga bagi para pencinta seni dan masyarakat umum untuk memperdalam pemahaman lintas budaya dan membangun dialog bermakna mengenai warisan kolonialisme di Asia Tenggara. Jangan lewatkan kesempatan untuk mengunjungi pameran ini sebelum berakhir pada 16 Juni 2024.