Liang Bua merupakan sebuah gua di bukit batu kapur yang terletak di Kabupaten Manggarai, sekitar setengah jam berkendara dari pusat kota Ruteng. Menurut bahasa setempat, ‘liang’ berarti ‘gua’ dan ‘bua’ berarti ‘sejuk’ atau ‘dingin’, sehingga Liang Bua dapat diartikan sebagai ‘gua yang sejuk’.
Liang Bua memiliki ciri hunian pada masa prasejarah. Hal ini terlihat dari ukurannya yang dalam dan lebar, dengan atap yang tinggi dan lantai gua yang luas dan relatif datar.
Mulut gua ada di sisi timur, sehingga mendukung untuk mendapatkan sinar matahari yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Lokasinya pun dekat aliran sungai, sehingga memungkinkan penghuninya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Saking besarnya gua ini – dengan panjang 50 meter, lebar 40 meter, dan tinggi 25 meter – warga setempat pernah menggunakannya sebagai sekolah dan tempat ibadah. Tak banyak yang tahu kalau gua ini sudah ada sekitar 60.000 hingga 100.000 tahun yang lalu.
Sejak dilakukan penelitian oleh Theodore Verhoeven, misionaris merangkap arkeolog berkebangsaan Belanda, pada 1950-an, Liang Bua dianggap menunjukkan potensi arkeologi dan paleontologi. Petunjuk ini ditindaklanjuti oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), dan telah banyak menghasilkan temuan penting.
Salah satu temuan paling populernya adalah fosil manusia purba Homo floresiensis pada kedalaman enam meter. Dari sekitar sembilan kerangka, hanya satu yang ditemukan dalam kondisi hampir utuh.
Dijuluki Hobbit, kerangka tersebut tingginya hanya 106 cm dengan tulang kaki dan tangan sangat kekar, serta kerangka otak hanya 430 cc, jauh lebih kecil dibanding otak manusia normal yang ukurannya 1.400 cc.
Arkeolog meyakini bahwa Hobbit pernah tinggal di Flores sekitar 17.000 hingga 95.000 tahun yang lalu, dan kemungkinan besar mereka hidup dengan berburu stegodon (gajah purba) karena terdapat ratusan tulang binatang tersebut di kedalaman 10 meter, dengan beberapa di antaranya menunjukkan tanda-tanda bekas disembelih.
Tak hanya itu, ditemukan pula alat-alat batu, seperti pisau, beliung, dan mata panah, yang usianya diperkirakan 50.000 hingga 190.000 tahun yang lalu.
Sangatlah menarik duduk di bawah juntaian stalaktit yang dramatis dan membayangkan bahwa puluhan ribu tahun yang lalu tempat tersebut pernah menjadi tempat tinggal manusia prasejarah. Area di sekelilingnya juga cantik – dan bila menuruni bukit sekitar 50 meter, terdapat museum kecil dengan replika kerangka Homo floresiensis.
Teks: Melinda Yuliani