Mengenal budaya Indonesia yang beragam tak hanya bisa kamu lakukan dengan mengunjungi museum. Kalau memiliki waktu liburan yang panjang, kamu juga bisa langsung menyambangi desa-desa adatnya yang unik.
Sebut saja Kampung Naga yang terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Untuk mencapainya, kamu bisa berkendara sekitar 40 menit dari pusat kota Garut, atau sekitar 3 jam bila dari Bandung.
Dari tepi jalan raya Garut-Tasikmalaya, kamu dapat memarkirkan kendaraan terlebih dahulu, sebelum kemudian menuruni tangga hingga ke tepi Sungai Ciwulan sekitar 500 meter, dan menyusuri jalan setapak hingga tiba di Kampung Naga.
Desa ini terletak di lembah yang subur, dengan hutan, sawah, dan sungai di sekelilingnya. Suasananya masih asri dan tenang, jauh dari keramaian kota. Yang terdengar hanyalah suara alam, entah itu daun-daun yang berdesik, gemericik air sungai, atau kicauan burung. Sementara udaranya pun sejuk dan bebas polusi karena tak ada kendaraan bermotor yang melintas.
Walau seluruh penduduknya menganut agama Islam, mereka masih mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Karena itu, ada beberapa aturan yang mesti dipatuhi, terutama yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Misalnya, bentuk rumah di desa ini haruslah panggung dengan material berupa bambu dan kayu. Atapnya wajib menggunakan daun nipah, ijuk, atau alang-alang, sementara lantainya dari bambu atau papan kayu. Uniknya lagi, arahnya harus ke utara atau selatan, dengan memanjang ke timur atau barat. Tak heran kalau dilihat dari jauh, rumah-rumah di sini tampak berjejer rapi.
Keunikan lain dari rumah di Kampung Naga adalah dindingnya tidak boleh dicat dan dua pintu di dalamnya tidak boleh sejajar. Konon, hal tersebut bisa membuat rezeki yang tadinya masuk ke rumah melalui pintu depan, langsung lenyap karena keluar lewat pintu belakang.
Jangan kaget pula kalau tak melihat tiang listrik di kampung ini. Ya, warga sini memang tak menggunakan listrik maupun gas LPG. Karena itu, semua peralatan yang digunakan masih tradisional.
Musik dari luar pun dilarang. Pertunjukan kesenian yang digelar di sini hanyalah yang merupakan warisan leluhur, seperti angklung, beluk, dan rengkong. Di luar itu, warga setempat harus menontonnya di luar wilayah Kampung Naga.
Hingga kini, masih belum jelas sejarah terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kental ini. Ada beberapa versi sejarah, dengan salah satunya diceritakan pada masa kewalian Sunan Gunung Jati. Konon, saat itu seorang abdinya yang bernama Singaparna ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam. Ia kemudian tiba di daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari.
Suatu hari, saat sedang bersemedi, ia mendapat petunjuk kalau harus mendiami tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Ia kemudian menyebut tempat tersebut nagawir, yang dalam bahasa Sunda berarti tebing terjal. Belakangan, warga setempat menyingkat namanya menjadi Kampung Naga. Sementara Singaparna sendiri dianggap sebagai leluhur masyarakat Kampung Naga.
Tips berkunjung ke Kampung Naga
- Jangan terlalu percaya navigasi di Google Maps. Ikuti saja Jalan Garut-Tasikmalaya, dan begitu mendekati lokasi, bertanyalah ke penduduk sekitar.
- Gunakan pemandu lokal yang merupakan penduduk asli Kampung Naga karena ada beberapa area terlarang yang tidak boleh dimasuki dan tidak boleh difoto. Setelah selesai tur, kamu dipersilakan mengisi buku tamu dan memberi donasi secara sukarela.
- Orang-orang di kampung ini ramah, namun kalau mau memotret, wajib meminta izin terlebih dahulu.
- Kalau mau menginap di rumah penduduk, harus membuat janji terlebih dahulu dengan penduduk setempat. Durasinya pun hanya boleh satu malam saja.
- Selama berkunjung, wajib menjaga kesopanan dan dilarang melanggar adat istiadat.
- Karena tidak ada listrik, bawalah power bank atau baterai cadangan.
- Siapkan uang tunai secukupnya, siapa tahu tertarik membeli oleh-oleh kerajinan dari penduduk Kampung Naga, atau mencoba kulinernya yang khas. Sebut saja pipis, kue dari singkong yang paling nikmat disantap bersama bajigur.
Teks: Melinda Yuliani