Galungan, Perayaan Dharma Mengalahkan Adharma

Selain Hari Raya Nyepi, umat Hindu juga merayakan Galungan, yang tahun ini berlangsung dari 19-29 Februari 2020. Perayaan ini berlangsung setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan wuku (siklus dalam penanggalan Jawa dan Bali) dan selalu jatuh pada Rabu. Galungan disambut umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan).

Selebrasi yang Panjang

Ada serangkaian upacara dan ritual yang mesti dilakukan umat dalam merayakan Galungan, bahkan sejak 35 hari sebelum Galungan, mereka sudah menggelar upacara di kebun (Tumpek Pengatak) untuk mendoakan kebunnya dapat menghasilkan yang baik. Kemudian ada upacara Sugihan Jawa untuk membersihkan alam dan fisik di luar tubuh manusia, yang dilangsungkan pada hari ke-6 sebelum Galungan.

Mendekati perayaan, umat mulai menyiapkan tape, kue, dan sesajen, termasuk menyiapkan penjor-bambu yang dihias dan berisi buah-buahan dari hasil kebun yang sudah didoakan sebelumnya. Penjor-penjor yang melengkung cantik ini akan menghiasi jalanan di Bali sepanjang mata memandang. Umat Hindu juga akan menyiapkan daging (biasanya daging babi) saat hari Penampahan.

Di hari yang dinanti, pura-pura akan dipadati umat yang akan memulai ibadah, biasanya mereka mendatangi beberapa pura untuk sembahyang. Setelah Galungan, masih ada ritual yang akan dilakoni, yaitu Umanis Galungan dengan menghadirkan barong yang akan menerima percikan tirta (air suci) dan sesajen, untuk kemudian diarak keliling desa. Sepuluh hari setelah Galungan, umat Hindu merayakan Hari Kuningan yang selalu jatuh di Sabtu. Inilah hari saat umat mengembalikan para dewa ke alamnya setelah mereka turun ke bumi untuk merayakan Galungan.

Berkaitan dengan Mitologi

Galungan pertama kali dirayakan pada malam bulan purnama tanggal 15 tahun Saka 804 atau dalam masehi tahun 882. Perayaan Galungan dipercaya berasal dari mitos mengenai Raja Mayadenawa yang sakti dan kerap berbuat hal jahat. Merasa dirinya paling sakti, ia memerintahkan rakyatnya untuk menyembahnya, sedangkan dewa-dewa yang selama ini dipuja, dilarangnya untuk disembah. Tak hanya itu, Mayadenawa juga menghancurkan pura dan tempat peribadatan.

Melihat aksi tirani sang raja, Mpu Sangkul Putih yang saat itu adalah Pemangku Agung Pura Besakih bersemedi memohon petunjuk. Ia mendapat ilham untuk pergi ke Jawa Dwipa (India) untuk meminta bantuan. Di sana, dikisahkan ia mendapat bantuan dari Dewa Indra, dewa yang menguasai cuaca.

Kembali ke Bali, Mpu Sangkul Putih dan pasukan Dewa Indra melakukan pertempuran dengan pasukan Mayadenawa yang akhirnya menderita kekalahan. Mitos inilah yang menjadi asal-muasal Hari Raya Galungan diperingati, saat kebaikan (dharma) sanggup mengalahkan kejahatan (adharma).

Teks: Priscilla Picauly

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here