Tak banyak turis menghabiskan waktu di Phnom Penh bila berkunjung ke Kamboja, berhubung kemegahan Angkor Wat di Siem Reap lebih mengundang rasa penasaran. Namun bila harus transit di ibu kota Kamboja ini, sempatkanlah menyusuri Phnom Penh untuk dapat lebih memahami masyarakat dan segala pesonanya.
08:00
Sejak pagi, di luar hotel-hotel besar banyak tuk-tuk menunggu turis. Mereka biasanya menawarkan jasa untuk mengantar berkeliling kota dengan rute andalan Tuol Sleng Genocide Museum dan Killing Fields di Choeung Ek. Bukan tempat yang menyenangkan untuk mengawali liburan, namun kedua tempat tersebut bisa membantu Anda memahami apa yang telah dilalui rakyat Kamboja. Untuk menyewa tuk-tuk seharian tidaklah mahal, yakni sekitar 20 dolar AS, dan dapat dibayar dengan dolar karena mata uang ini diterima luas di seantero Kamboja.
Ketika tuk-tuk berhenti di sebuah bangunan sekolah tiga lantai, sulit untuk percaya kalau di dalamnya pernah dijadikan salah satu penjara paling mengerikan dalam sejarah manusia. Di tahun 1975, gedung SMA Tuol Svay Prey diambil alih secara paksa oleh Khmer Merah untuk digunakan sebagai penjara berkode 21 yang kemudian menjelma sebagai pusat penyiksaan terbesar di Kamboja. Diperkirakan lebih dari 17.000 tahanan – laki-laki, perempuan, anak-anak, dan bayi – dibawa ke Killing Fields di Choeung Ek untuk dieksekusi. Bukan tidak mungkin perut akan mual di hadapan deretan foto para korban kekejaman Khmer Merah.
10:00
Setelah menenangkan diri dengan menyeruput minuman dingin di sebuah restoran asri tepat di seberang Tuol Sleng, perjalanan dilanjutkan ke Killing Fields. Disebut demikian bukan tanpa alasan karena memang tempat tersebut merupakan ladang pembantaian. Ada ratusan Kiling Fields, namun yang terbesar dan paling terkenal terletak di kampung kecil bernama Choeung Ek. Di sinilah ribuan tahanan Penjara Tuol Sleng dibunuh dan dikubur. Tulang-tulang tersebut kini dipamerkan dalam sebuah stupa penghormatan yang membuat hati siapa pun yang melihatnya teriris. Sejumlah 8.000 tengkorak disusun berdasarkan umur dan jenis kelamin, teronggok dari balik kaca.
12:00
Selesai menyusuri Killing Fields, walau mungkin nafsu makan sempat menguap, sempatkanlah untuk mencicipi hidangan khas Kamboja, seperti amok (kari kuning ala Khmer). Kari bersantan ini teksturnya tidak seberat kari India. Aromanya pun teramat mild menyentuh indra penciuman. Pilihan isi amok tersedia mulai dari vegetarian (sayur-mayur), hingga daging sapi, babi, dan ikan.
Hidangan lain yang bisa Anda cicipi adalah loc lac alias tumis daging sapi dengan bawang bombai, timun, tomat, serta selada segar. Walau masyarakat Kamboja telah mengklaimnya sebagai bagian dari kuliner khas Khmer, loc lac sebenarnya hidangan khas Vietnam.
Restoran Khmer tersebar di seluruh penjuru kota, dan biasanya jarang menggunakan papan bertanda bahasa Inggris. Pasar-pasar di Phnom Penh, seperti Phsar O Russei (O Russei Market), bisa menjadi lokasi yang tepat untuk menyantap makan siang.
14:00
Lepas santap siang, tak ada salahnya mengunjungi National Museum of Cambodia. Bangunan bergaya tradisional Khmer ini memiliki halaman mungil yang cantik dan tenang dengan kolam teratai di bagian tengahnya. Museum ini memajang koleksi karya seni budaya Khmer, seperti patung, keramik, kostum tari, dan benda-benda etnografis dari masa prasejarah hingga pasca-Angkor. Terdapat lebih dari 5.000 unit karya seni, sehingga menjadikan museum ini sebagai gudang penyimpanan terbesar kekayaan budaya Kerajaan Khmer.
15:00
Bila kaki masih bisa diajak berjalan, lanjutkan langkah ke Royal Palace yang tak jauh dari National Museum. Pastikan Anda mengenakan pakaian yang sopan sebelum memasuki kawasan tersebut.
Dibangun oleh Raja Norodom di tahun 1886, Royal Palace memadukan arsitektur Khmer yang tradisional dengan arsitektur modern yang elegan. Di dalam kompleks istana terdapat aula penobatan, teater terbuka untuk Royal Dance Troupe, paviliun terbuka, dan kediaman pribadi raja yang dihiasi koleksi karya seni dari seniman mancanegara. Halaman terbuka untuk umum, kecuali ketika raja sedang berada di istana.
Di sisi selatan terdapat Silver Pagoda—dinamakan demikian karena lantainya yang berubin perak dengan jumlah lebih dari 5.000 buah. Nama asli tempat ini adalah Wat Prakeo yang berarti Kuil Emerald Buddha. Anda bisa melihat koleksi patung Buddha yang terbuat dari emas, perak, kristal, dan perunggu. Yang paling terkenal adalah Emerald Buddha yang terbuat dari kristal baccarat dan patung Buddha Maitreya yang berhiaskan 9.000 butir berlian dengan berat mencapai 90 kilogram.
16:00
Tak lengkap rasanya menjelajahi suatu kota tanpa berbelanja. Kunjungi Phsar Tuol Tom Pong atau Russian Market, pasar terbaik untuk membeli suvenir. Di tahun 1980-an, banyak orang Rusia berbelanja di pasar ini, sehingga kemudian disebut Russian Market. Pasar ini menjual berbagai barang antik—asli maupun replika, kain sutra, kroma (kain tradisional Kamboja dengan motif kotak-kotak), ukiran kayu, perhiasan yang terbuat dari emas dan perak, hingga barang elektronik. Pakaian bermerek pabrikan Kamboja, seperti Levi’s, Calvin Klein, dan Quicksilver juga jauh lebih murah. Jangan lupa menawar hingga 40 persen dari harga yang disebutkan sang penjual!
18:30
Setelah beristirahat sejenak di hotel, bila masih ingin berbelanja, rasakan eksotisme berjalan-jalan menyusuri Night Market (Phsar Reatrey) yang terletak di tepi sungai. Pasar yang meriah ini menjual berbagai produk lokal, termasuk kerajinan tangan, kain sutra, T-shirt, dan suvenir khas Kamboja. Hanya saja, pasar ini cuma buka di akhir pekan (Jumat hingga Minggu) dari pukul 17:00 hingga tengah malam.
20:00
Tutuplah hari dengan menikmati santap malam di Foreign Correspondents’ Club (FCC) di sudut Sisowath Quay. Dibuka tahun 1993, FCC dulunya merupakan tempat berkumpul para wartawan perang yang meliput konflik di Kamboja setelah kejatuhan rezim Khmer Merah. Kini FCC selalu dipenuhi turis, pekerja LSM, dan diplomat. FCC menyediakan makanan Asia, Mediterania, dan Barat, seperti wooden-fried pizza-nya yang terkenal. Bangunan kolonial cantik berlantai tiga ini juga menawarkan akomodasi yang elegan.
Letaknya yang dibelah sungai Tonle Sap membuat Phnom Penh sempat dijuluki sebagai Mutiara Asia pada tahun 1920-1950-an. Setelah sejarah kelam menimpa rakyatnya, kini ibu kota Kamboja itu mulai beranjak bangkit untuk membuktikan kepada dunia bahwa Phnom Penh masih mempesona.
Akses: AirAsia dan Malindo Air melayani rute Jakarta-Phnom Penh via Kuala Lumpur. Opsi lainnya adalah naik penerbangan langsung ke Phnom Penh yang hanya dilayani Citilink.
Teks: Melinda Yuliani