Terhampar pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, Dieng adalah dataran tertinggi kedua di dunia yang dihuni manusia setelah Nepal. Mudah diakses dari berbagai kota besar di Pulau Jawa, inilah alternatif destinasi baru berakhir pekan.
• Kompleks Candi Arjuna
Selain candi utama, yaitu Candi Arjuna, terdapat empat candi lain di kompleks ini, yaitu Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi Arjuna diperkirakan sebagai candi tertua di Jawa yang dibangun pada abad delapan oleh Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno. Candi Arjuna masih sangat kental dengan gaya candi-candi di India, sedangkan Candi Sembadra yang dibangun paling akhir telah memperlihatkan pengaruh budaya setempat.
Selain kelima candi tersebut, sekitar 200 meter di barat kompleks Candi Arjuna terdapat Candi Setyaki yang diperkirakan dibangun pada periode yang sama dengan Candi Arjuna. Di kompleks candi ini tidak ditemukan arca karena sebagian besar isinya disimpan di Museum Kailasa. Kompleks Candi Arjuna sendiri adalah lokasi perayaan Galungan dan pelaksanaan ruwatan sejumlah anak gimbal setiap tahunnya.
• Kawah Sileri
Merupakan kawah paling aktif dan pernah meletus beberapa kali, kawah ini juga merupakan kawah terluas di Dieng. Berada di Desa Pekasiran, kawah seluas sekitar satu hektar ini dikelilingi Bukit Bima Sakti, Bukit Semancar, Bukit Gajah Mungkur, dan Bukit Penglimuran. Perjalanan menuju Kawah Sileri akan melalui jalan berbatu. Dari papan bertuliskan “Kawah Sileri” di tepi jalan, pengunjung harus berjalan menyusuri anak tangga sepanjang 300 meter.
• Telaga Warna
Terletak di Desa Dieng Wetan, perubahan warna air telaga ini – yang bahkan di saat-saat tertentu dapat terlihat terdiri lima warna – membuat pengunjung berbondong-bondong ke sini. Perubahan merah, hijau, biru, abu-abu, dan kuning ini umumnya terjadi pada Juli hingga Agustus di musim kemarau karena keberadaan plankton, kandungan belerang, sinar matahari, dan vegetasi di sekitar danau.
Merupakan telaga vulkanik yang terbentuk akibat letusan Gunung Prau Tua – yang juga membentuk Dieng – warna air telaga ini oleh warga setempat sempat dipercaya berasal dari Cupumanik Astagina, pusaka milik Batara Surya, dewa matahari versi Hindu. Karena marah, Batara Surya melemparkan Cupumanik Astagina ke langit dan isinya tumpah di telaga ini sehingga mengubah warna air di dalamnya, sementara bagian tutupnya jatuh di Telaga Semala, India.
• Telaga Pengilon
Terletak di selatan Telaga Warna, sesuai namanya, telaga ini berair jernih sehingga permukaannya bagai cermin. Dalam bahasa Jawa, “pengilon” berarti cermin dan konon orang yang berniat jahat, bila bercermin di telaga ini, bayangan wajahnya akan tampak buruk dan sebaliknya, jika seseorang berniat baik, bayangannya di permukaan pun akan tampak cantik atau tampan. Selain itu, jika air di telaga berubah keruh, masyarakat percaya akan ada wabah menyerang.
Bila dilihat dari jauh, air Telaga Pengilon terlihat cokelat, yang disebabkan lumpur yang mengendap di dasarnya. Tak seperti Telaga Warna, air telaga ini tak mengandung belerang, sehingga airnya aman untuk dimanfaatkan masyarakat setempat untuk keperluan sehari-hari. Untuk menuju telaga ini, kendaraan harus melewati jalan berliku yang diapit jurang.
• Kawah Sikidang
Kawah utamanya dapat berpindah-pindah, sehingga kemudian dinamai Sikidang, yang berasal dari kata “kidang” atau kijang dalam bahasa Jawa karena kijang gemar berpindah tempat dengan lincah. Untuk menuju tempat ini, dari pintu masuk harus trekking sekitar satu kilometer.
Ketika memasuki kawasan kawah, akan terlihat beberapa lubang besar yang mengeluarkan asap mengepul. Dulu kawah-kawah ini merupakan lubang raksasa dan diperkirakan suatu hari akan kembali menyatu. Disarankan untuk mengenakan masker karena asap belerang yang menyengat seringkali menganggu dan usahakan jangan terlalu dekat dengan kawah karena suhunya dapat mencapai 90 derajat Celsius.
• Telaga Cebong
Terletak di Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di Jawa, di selatan desa ini juga terdapat Bukit Sikunir, primadona pariwisata Dieng dengan Telaga Cebong di lerengnya. Dinamakan demikian, karena dilihat dari ketinggian, telaga ini terlihat seperti kecebong, dan menurut cerita rakyat setempat, dulu banyak katak hidup di telaga tersebut.
Air Telaga Cebong di pagi hari sering tampak berkilauan seperti cairan minyak, terutama bila disaksikan dari jalur pendakian ke Bukit Sikunir. Dikelilingi perkebunan sayur dan buah, air telaga ini dimanfaatkan sebagai irigasi. Selain berkemah, memancing juga dapat dilakukan di telaga ini.
• Bukit Sikunir
Berada di Desa Sembungan dengan Telaga Cebong sebagai pintu masuknya, bukit ini ramai dikunjungi wisatawan yang ingin melihat keindahan matahari terbit yang dikelilingi Gunung Sikunir, Sindoro, Merapi, Merbabu, Telomoto, dan Ungaran, terutama setiap Juli hingga Agustus ketika matahari akan muncul dari balik Gunung Sindoro.
Hanya saja, karena merupakan musim kemarau, pengunjung yang datang pada bulan-bulan tersebut harus siap menghadapi suhu yang sangat dingin. Dari Telaga Warna, perjalanan menuju puncak Bukit Sikunir masih sekitar satu kilometer. Walau sepanjang perjalanan terdapat papan penanda arah, tangga yang disusun dari batu kali ini cenderung licin, sehingga disarankan untuk mengenakan sandal atau sepatu gunung.
Ada dua jalur menuju puncak, yaitu jalur terjal dengan jarak tempuh yang lebih pendek dan jalur landai dengan jarak tempuh lebih jauh. Puncak Bukit Sikunir berada di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut. Dari puncak bukit juga akan terlihat bentuk Telaga Cebong yang memang mirip kecebong.