Cuma Bhutan yang mengukur kesuksesan negaranya dengan kebahagiaan. Pada 1979, Raja Bhutan mengejutkan dunia ketika mengatakan, “Kami tidak percaya akan Produk Nasional Bruto (pendapatan total ekonomi suatu negara selama satu tahun). Kebahagiaan nasional lebih penting buat kami.”
Bhutan melakukan pengukuran tingkat kebahagiaan warganya dan hasil yang didapat, 91 persen mengaku bahagia. Sejumlah 50 persen dari 91 persen tersebut bahkan mengaku sangat bahagia dan puas dengan hidup mereka. Hasil survei yang dilakukan Bhutan tersebut berbeda dengan hasil yang dilakukan di 155 negara dan terangkum dalam World Happiness Report yang menempatkan Norwegia sebagai negara paling bahagia sedunia. Norwegia jelas negara makmur, sementara Bhutan tidak. Hutang negara pun besar, sementara penyerapan tenaga kerja rendah. Lalu, mengapa rakyat Bhutan mengaku begitu bahagia?
Perkembangan Pesat
Terletak di Pegunungan Himalaya, Bhutan baru membuka diri untuk dikunjungi turis sekitar 40 tahun lalu. Kini, Bhutan adalah salah satu dari 20 negara dengan perkembangan ekonomi paling pesat sedunia (pada 2016 tercatat pertumbuhannya 6,5 persen) dan merupakan satu-satunya negara di Asia Selatan yang memenuhi semua aspek dalam Millennium Development Goals yang ditetapkan PBB, di antaranya sistem pendidikan yang baik dan jaminan kesehatan gratis bagi seluruh warga.
Bhutan memang mengalami perkembangan pesat untuk ukuran negara yang hingga 1960-an belum memiliki mata uang, saluran telepon, sekolah, rumah sakit, fasilitas umum, atau pun layanan pos. Negara ini juga merupakan satu-satunya negara yang justru kawasan hutannya bertambah sebanyak 72 persen. Undang-undang Bhutan menetapkan jumlah hutan di seluruh negeri tidak boleh berada di bawah angka 60 persen. Hal ini tentu menjadi tamparan bagi negara-negara yang justru mengurangi dan merusak hutan mereka dengan berbagai alasan.
Jalan-jalan di Bhutan tak memiliki lampu merah atau dihiasi papan-papan reklame iklan. Hal ini karena mobil dilarang melintasi jalan-jalan di pusat kota untuk mengurangi emisi karbon. Oleh karena itu, tak heran jika Bhutan menyerap emisi karbonnya tiga kali lebih banyak dibandingkan negara-negara lain. Dari segi makanan, pemerintah dari salah satu negara demokrasi paling muda ini hampir berhasil membuat rakyatnya hanya menyantap bahan-bahan makanan organik.
Berkat Ajaran Buddha
Ajaran Buddha melandasi banyak aspek kehidupan di Bhutan. Jika negara memperkuat pertahanan mereka dengan tentara, Bhutan memperkuat pertahanannya dengan 12.000 biksu yang akan meneruskan nilai-nilai kebaikan ajaran Buddha sekaligus tradisi negara. Jika di negara lain jumlah pengikut organisasi religius semakin berkurang, di Bhutan justru semakin banyak orang, baik pria maupun wanita, yang mendaftarkan diri sebagai biksu.
Pokok ajaran Buddha adalah perlakuan yang baik terhadap semua makhluk, termasuk hewan. Walau di Bhutan banyak anjing jalanan, namun tak seperti anjing-anjing jalanan di negara berkembang lain, semua anjing jalanan di Bhutan dalam keadaan sehat. Di negara ini pernah ada kebun binatang, namun kemudian ditutup karena menurut mereka binatang tidak seharusnya hidup di dalam kandang.
Ukuran Sendiri
Pengukuran tingkat kebahagiaan yang dilakukan Bhutan memang berbeda. Tidak seperti World Happiness Report yang mengukur tingkat kemakmuran dan kepuasan warga dunia, Bhutan mengukur kesejahteraan warganya melalui tingkat kesehatan fisik dan mental, kekuatan komunitas, dan kondisi alam. Oleh sebab itu, setiap pembangunan yang dilakukan di Bhutan, tujuan utamanya bukan untuk kesejahteraan dalam bentuk materi, namun lebih untuk ketenangan jiwa – karena hal inilah yang menyumbangkan kebahagiaan bagi rakyat.
“Rakyat butuh untuk dipenuhi dulu kebutuhan pokok mereka, yaitu bahan makanan yang cukup, tempat tinggal yang layak, dan layanan kesehatan memadai tanpa pengecualian. Bila itu semua telah dipenuhi, hal ini telah membuat mereka bahagia. Di tengah kondisi dunia yang semakin tidak damai ini, mengukur kebahagiaan tidak dengan materi seperti yang kami lakukan ternyata justru memberikan ketenangan batin bagi rakyat Bhutan. Di atas kertas, kami memang tidak makmur, namun rakyat yang bahagia adalah ukuran kemakmuran bagi kami,” jelas Perdana Menteri Tshering Tobgay.
Mahal Namun Diminati
Keunikan Bhutan itu kemudian membuat warga dunia penasaran dan ingin berkunjung ke sana. Agar tak dieksploitasi dan mengubah pandangan masyarakatnya tentang ukuran kemakmuran, Bhutan membatasi jumlah turis dengan memberlakukan keharusan membayar 250 dolar AS per hari (atau 200 dolar AS di saat tidak sibuk, yaitu Desember hingga Februari dan Juni hingga Agustus), di mana jumlah tersebut di luar pengeluaran untuk hotel, makan, transportasi, dan masuk tempat-tempat wisata. Turis juga masih akan dikenakan biaya tambahan 40 dolar AS per orang bagi yang melakukan perjalanan ke Bhutan sendiri dan 30 dolar AS bagi yang hanya berdua. Hal ini untuk mendorong agar para turis bepergian dalam kelompok, tidak menjelajah secara independen, sehingga warga setempat dapat memiliki penghasilan sebagai pemandu wisata. Dari 250 dolar AS per hari tersebut, 65 dolar AS-nya digunakan pemerintah untuk melakukan investasi agar warga dapat menikmati pendidikan dan layanan kesehatan gratis.
Walau mahal, pariwisata kini menempati urutan kedua sebagai penyumbang devisa terbesar di Bhutan setelah tenaga air (hydropower). Dari hanya 287 turis di 1974, pada 2017 tercatat 250.000 turis mengunjungi Bhutan. Anda juga tertarik ke Bhutan?