Chiang Mai adalah “Yogyakarta”-nya Thailand. Merupakan kota budaya yang berhawa sejuk, kunjungan akan semakin berkesan bila bertepatan dengan Loi Krathong setiap November atau Songkran setiap April. Berikut beberapa alasan untuk berkunjung ke Chiang Mai.
Ratusan Wat
Memiliki lebih dari 300 wat dari abad 13 dengan jarak yang berdekatan, di sinilah tempat terbaik untuk mengagumi kemegahan kuil atau sekadar menyaksikan para biksu melakukan ritual doa dan makan bersama. Dari antara sekian banyak wat di Chiang Mai, jangan lewatkan Wat Phra That Doi Suthep, kuil terpopuler di Chiang Mai yang didirikan pada 1383 dan menyimpan tulang Sang Buddha. Karena berada di puncak bukit, dari kuil ini tersaji panorama Chiang Mai dari ketinggian, dan bahkan pesawat yang lepas landas maupun hendak mendarat di Bandara Chiang Mai. Kuil lain yang tak kalah menarik untuk dikunjungi adalah Wat Sri Suphan atau yang dijuluki Silver Temple. Kuil ini tak hanya memiliki lukisan unik, namun juga terdapat aula yang berhiaskan ornamen perak yang rumit karya seniman lokal.
Pasar Malam
Setelah mengeksplor kuil seharian, malam hari adalah waktu terbaik untuk berbelanja dan berwisata kuliner di pasar setempat. Hampir semua produk khas Thailand, seperti suvenir, kaos, serta makanan dan minuman, tersedia di pasar malam yang beroperasi tiap pukul 08:00 hingga dini hari ini.
Pasar yang paling direkomendasikan adalah Saturday Night Market di sepanjang Wualai Road dan Sunday Night Market di sepanjang Ratchadamnoen Road, mulai dari area Thapae Gate hingga ke seberang Wat Phra Singh. Di sela-sela berbelanja, mungkin agak sulit menolak salah satu tawaran gerai pijat tradisional Thailand atau sekadar pijat refleksi kaki yang harganya terjangkau, yaitu mulai 100 hingga 1.000 baht per jam.
Masakan Khas
Masakan Chiang Mai berbeda dengan wilayah lain di Thailand. Rasanya tak begitu tajam dan banyak menggunakan daging atau bahan berlemak lainnya untuk menjaga tubuh tetap hangat karena cuaca di wilayah utara yang memang lebih dingin. Warga di sini tak suka menggunakan gula, santan, atau rempah-rempah yang terlalu banyak.
Masakan khas Chiang Mai antara lain khao soi (mi kuning isi daging ayam atau sapi yang disiram kuah kari pedas serta disajikan dengan acar mentimun, bawang merah, cabai, dan jeruk nipis), sai ua (sosis babi yang dibumbui sereh, lengkuas, daun jeruk, daun ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabai, garam, dan minyak ikan), jin som mok kai (fermentasi daging dan kulit babi yang dibungkus daun pisang dan dikukus), dan sai krok isan (mirip corn dog dari daging babi giling dengan nasi atau sohun yang difermentasi sehingga rasanya asam).
Gajah
Tempat yang mengklaim sebagai pusat konservasi gajah akan memperlakukan gajah sebagai hewan langka yang dilindungi, tidak untuk dieksplotasi sebagai sarana hiburan dengan tidak akan mengizinkan gajah untuk ditunggangi dan lebih memfasilitasi interaksi dengan gajah.
Inilah yang dilakukan Elephant Nature Park yang menyediakan tur satu hari seharga mulai 2.500 baht, di mana peserta dapat ikut memandikan dan memberi makan gajah, selain akan diantar jemput dari hotel di Chiang Mai dan akan mendapat makan siang ala prasmanan.
Festival Unik
Loi Kratong atau Yi Peng diselenggarakan setiap bulan purnama di bulan November untuk menghormati Dewi Air (“loi” sendiri berarti terapung dan “kratong” adalah kapal kecil).
Selama festival, masyarakat akan melarung kapal dari daun pisang yang dihiasi bunga, dedaunan, dan lilin ke sungai sambil mengucapkan permohonan, selain menerbangkan lampion yang menjadi pemandangan ikonik Loi Kratong. Jangan lewatkan juga Festival Bunga di awal Februari dan Songkran setiap pertengahan April.
Suku Pegunungan
Chiang Mai merupakan melting pot bagi suku pegunungan yang memiliki budaya unik. Tersedia tur untuk mengunjungi sejumlah pemukiman suku yang ada di kawasan ini, dengan pemukiman suku Akha dengan pakaian adatnya yang kaya warna sebagai yang paling populer.
Suku Hmong adalah suku yang paling agresif dan independen, sehingga banyak warganya yang mengembara ke tempat-tempat baru, sementara suku Karen yang warganya merupakan para penenun handal mungkin merupakan suku yang para wanita paling banyak difoto. Hal ini karena simbol kecantikan bagi para wanita suku Karen adalah leher panjang sebagai hasil dari melilitkan gelang besi di leher, di mana setiap tahunnya, gelang besi yang terpasang akan bertambah.