Merupakan kota terbesar di Indonesia Timur, Makassar tak hanya menawarkan berbagai tempat untuk berburu kuliner, namun juga menjadi pintu gerbang untuk menuju banyak destinasi menarik di Sulawesi Selatan. Sebut saja Tana Toraja yang menjadi ikon budaya kawasan tersebut.
Banyak orang yang rela jauh-jauh menuju Tana Toraja untuk melihat tongkonan, rumah adat khas Toraja yang atapnya melengkung menyerupai perahu.
Dalam bahasa setempat, tongkonan berasal dari kata ‘tongkon’ yang artinya duduk bersama. Bentuk ini melambangkan bentuk perahu sekaligus tanduk kerbau. Lokasi tongkonan biasanya berdampingan dengan lumbung padi (alang sura) yang atapnya juga mengadaptasi bentuk perahu.
Secara adat, masyarakat diwajibkan membangun tongkonan untuk menghadap utara untuk menghormati leluhur mereka yang berasal dari utara (daratan Tiongkok). Tanduk kerbau yang menghiasi tongkonan adalah penanda status sosial penghuninya.
Ada empat warna dasar yang menjadi penghias tongkonan, yaitu merah, hitam, kuning dan putih, yang sesuai kepercayaan Aluk Todolo memiliki makna masing-masing. Hitam melambangkan kematian atau kegelapan, kuning melambangkan anugerah, merah melambangkan kehidupan manusia, dan putih melambangkan kesucian.
Tongkonan dibangun menggunakan struktur kayu tanpa paku dan atap yang terbuat dari bambu. Lama-kelamaan, bagian atap tongkonan akan dirambati lumut dan tanaman, sehingga kini banyak juga masyarakat Toraja yang beralih membangun atap tongkonan dari seng. Walau tidak secantik tongkonan tradisional, perawatannya lebih mudah.
Jika ingin melihat tongkonan berusia lebih dari tiga abad dengan ukiran indah dan deretan tanduk-tanduk kerbau yang dikelilingi pemandangan alam menakjubkan berupa sawah yang berpadu cantik dengan bukit, tebing, dan rimba, datanglah ke Ke’te Kesu yang terletak sekitar 6,6 km jauhnya dari Rantepao, atau tepatnya di Kampung Bonoran, Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi.
Kampung yang terawat apik ini terdiri dari 6 tongkonan tua, lengkap dengan 12 lumbung, arena upacara, 20 buah menhir megalitik, dan kuburan batu tua di bagian belakang kampung. Ke’te Kesu adalah kompleks perkampungan adat yang masih lengkap dan terpelihara dengan baik.
Tongkonan yang berderet berhadapan langsung dengan lumbung padi, arena upacara, menhir megalitik dan berdekatan juga dengan area pemakaman (rante) serta tempat pertemuan adat. Meski kini tak berfungsi lagi sebagai hunian, Ke’te Kesu kini resmi sebagai cagar budaya yang dilindungi pemerintah dan pada tahun 2000, Ke’te Kesulah yang pertama kali direkomendasikan sebagai tempat bersejarah di Toraja dilindungi UNESCO.
Teks: Melinda Yuliani