Lonely Planet belum lama merilis negara-negara yang direkomendasikan untuk dikunjungi pada 2019. Dari 10 besar, Sri Lanka menduduki peringkat satu (yang disusul oleh Jerman, Zimbabwe, Panama, Kyrgyzstan, Yordania, Indonesia, Belarusia, Sao Tome & Principe, dan Belize). Daftar selengkapnya dapat dilihat di https://www.lonelyplanet.com/best-in-travel.
Setelah 10 tahun perang saudara usai, Sri Lanka kini memiliki sistem transportasi yang lebih baik, selain hotel-hotel baru bermunculan dan beragamnya aktivitas yang ditawarkan. Karena alasan itu semua, Lonely Planet menjatuhkan negara ini dalam panduan tahunannya, Best in Travel awards.
“Di kalangan pejalan, Sri Lanka dikenal akan pesona situs budaya dan alam, di mana kuil-kuil Buddha kuno berpadu dengan alam yang masih terjaga namun relatif mudah diakses. Kengerian perang saudara yang diberitakan media seketika menghilang ketika berinteraksi dengan masyarakatnya yang ramah,” ujar Ethan Gelber, salah satu kontributor buku Best in Travel 2019 yang diterbitkan Lonely Planet. “Jangan lewatkan berinteraksi dengan gajah di Taman Nasional Minneriya, selain hiking atau naik kereta di perkebunan teh Hill Country,” imbuh Gelber.
Kunjungan wisatawan ke Sri Langka telah meningkat dari sejak berakhirnya perang sipil, yaitu dari 447.890 di 2009 ke 2,1 juta pada 2017 dan diharapkan akan menjadi dua kali lipat sebelum 2020. Renovasi sistem kereta telah membuka akses ke Jaffna dan kawasan utara – yang semasa perang saudara merupakan kawasan konflik yang berbahaya bagi turis – pada 1990-an. Kini, rute naik kereta ke Jaffna tersebut menjadi salah satu rute terindah yang dapat dinikmati. Jalan untuk dilewati kendaraan bermotor juga telah dibangun hingga ke kawasan Matara di selatan, begitu pun rute penerbangan domestik telah menjangkau lebih banyak tempat. Dari Kolombo di barat ke Batticaloa di timur, misalnya, kini dapat ditempuh dengan hanya 45 menit naik pesawat.
Perlahan investor pun berdatangan untuk membangun akomodasi, mulai dari homestay hingga fasilitas retreat yang ramah lingkungan, seperti Wild Coast Lodge yang menawarkan kamar-kamar berbentuk kepompong di Taman Nasional Yala. Jaringan hotel internasional, seperti Shangri-La, Mövenpick, Sheraton, and Grand Hyatt, pun juga telah membuka properti mereka di sini.
Di kalangan peselancar, Sri Lanka pun perlahan dikenal sebagai destinasi berselancar, seiring dengan banyaknya kawasan pantai yang mudah diakses. Bagi pecinta alam, operator tur memiliki banyak paket untuk hiking di hutan yang dipadukan dengan yoga atau perawatan Ayurveda. “Pariwisata adalah salah satu sumber devisa negara, namun sayangnya banyak praktik pariwisata yang hanya memfokuskan pada jumlah kunjungan wisatawan ketimbang hal-hal positif bagi negara,” ujar Asha de Vos, ahli kelautan dan pendiri Oceanswell, organisasi lingkungan yang berbasis di Sri Lanka.
“Untuk memenuhi target wisatawan tersebut, hotel dan infrastruktur dibangun dengan memodifikasi alam, yang berakibat pada hilangnya hutan beserta isinya, selain berbagai situs budaya pun juga terancam rusak karena serbuan turis yang tidak terkontrol. Belum lagi masalah limbah yang harus dikelola secara tepat. Pariwisata adalah hal yang positif untuk memajukan perekonomian suatu negara, namun bila tanpa perencanaan dan pengaturan, maka pesona yang tadinya merupakan daya tarik justru akan menjadi bumerang. Orang akan berhenti datang ke tempat yang alam dan situs budayanya rusak,” tambahnya.