Fort Rotterdam, Saksi Bisu Berbagai Peristiwa Bersejarah di Makassar

Fort Rotterdam adalah sebuah benteng di Makassar yang telah menyaksikan berbagai peristiwa penting dalam sejarah. Didirikan pada 1545 oleh Raja Gowa kesepuluh bernama Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, bangunan yang awalnya bernama Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) ini hanya berbahan dasar tanah liat dengan mengadaptasi ciri arsitektur Portugis dengan bentuk perseginya.

Barulah pada pemerintahan Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14, materialnya diganti dengan batuan karst hitam yang diambil dari pegunungan karst di Maros. Benteng ini juga diperluas dengan bentuk yang menyerupai penyu, sehingga namanya pun berubah menjadi Benteng Pannyua (penyu dalam bahasa setempat).

Bentuknya tak hanya unik, namun juga mengandung makna yang dalam. Bagai penyu yang dapat hidup dua alam, Kerajaan Gowa pun diharapkan dapat berjaya di daratan maupun lautan – dan memang tak lama kemudian kekuasaan mereka diakui dan dihormati hingga ke seluruh Nusantara.

Sekitar tahun 1666, Belanda menyerang kerajaan ini karena lokasinya yang strategis untuk mengontrol perdagangan rempah-rempah. Sultan Hasanuddin yang saat itu berkuasa pun terpaksa harus menandatangani Perjanjian Bungaya yang salah satu isinya mewajibkan kerajaan untuk menyerahkan benteng kepada Belanda.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda Cornelis Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sempat hancur saat peperangan itu. Tak hanya menerapkan arsitektur khas Belanda, Speelman juga menambahkan benteng lain di sisi barat. Nama bentengnya pun berganti menjadi Fort Rotterdam untuk mengenang kota kelahiran Speelman. Di masanya, benteng ini menjadi pusat pemerintahan Belanda di Indonesia Timur sekaligus pusat penampungan rempah-rempah.

Di kompleks Fort Rotterdam ini juga terdapat museum pertama yang didirikan di Sulawesi bernama Museum La Galigo. La Galigo adalah raja muda di Kerajaan Luwuk pada abad ke-14 yang juga putra Sawerigading Opunna Ware, tokoh dalam mitologi Bugis.

Nama ini juga mengacu pada I La Galigo, puisi epik terpanjang di dunia berbahasa Bugis dan terdiri 300.000 baris. Di museum ini, pengunjung dapat melihat berbagai koleksi zaman prasejarah, keramik asing dan peta lokasi penemuan keramik, selain koleksi Kerajaan Luwu, Bone, Sawitto, dan Gowa.

Pada 2011, Fort Rotterdam pernah menggelar teater musikal I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson dan sebelumnya telah dipentaskan di Asia, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. (Foto: Dok. ANTARA Foto)

Fort Rotterdam juga aktif menggelar Makassar International Writers Festival setiap tahunnya. Festival sastra internasional ini tak hanya mempromosikan Makassar sebagai pusat budaya dan sastra di Asia dan dunia, namun juga sebagai ajang untuk memperkenalkan sastra dari timur Indonesia. Kegiatannya pun bervariasi dan terdiri pertunjukan seni, budaya, musik, film, dan desain grafis.

Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here