Di Antara Hamparan Pasir

Jangan lupa nyalakan Tinder ya, siapa tahu bisa bawa pulang sheikh ke Indonesia,” begitu pesan Whatsapp yang saya terima dari seorang sahabat begitu tiba di Bandara Internasional Dubai dan mengaktifkan akses Wi-Fi di ponsel. Saya langsung tergelak membacanya. Mana sempat saya mencari sheikh, berhubung perjalanan atas undangan Dinas Pariwisata dan Pemasaran Perdagangan Dubai itu lumayan padat setiap harinya.

Saya tiba larut malam setelah melewatkan delapan jam penerbangan tanpa jeda dari Jakarta dengan Emirates. Bayangan akan Dubai yang panas sepanjang tahun pupus ketika embusan angin malam memaksa saya untuk merapatkan jaket dan mengeratkan lilitan syal.

Kota Masa Depan
Burj Khalifa yang selalu ramai oleh turis.

Tiga hari pertama di Dubai saya lewatkan dengan mengunjungi sejumlah atraksi terbaiknya, termasuk Burj Khalifa yang didaki Tom Cruise dalam Mission: Impossible – Ghost Protocol (2011). Dari gedung tertinggi di dunia ini saya tak hanya dapat menikmati panorama kota, namun juga dapat membayangkan lanskap Dubai yang hanya berupa lautan pasir sekitar 5.000 tahun lalu. Kalau melihat Jakarta dari ketinggian, saya masih bisa melihat pepohonan atau rumput di sela-selanya, namun di Dubai, bangunan-bangunan megahnya dikepung hamparan pasir tak berbatas.

Kota ini memang baru berkembang sekitar 150 tahun lalu, dari sebuah desa nelayan menjadi kota yang disesaki bangunan pencakar langit, dengan pencapaian terbesar pertamanya adalah ketika didirikannya hotel tertinggi di dunia Burj Al Arab pada 1999.

Amazing, eh, the fact that they build all of ’em from scratch?” komentar Marshall, pemandu yang menemani kami selama di Dubai, dengan aksen Indianya yang khas. Saya hanya bisa mengangguk. Dubai memiliki banyak pekerja ekspatriat dari India dan Marshall adalah salah satunya.

Resor bintang lima Madinat Jumeirah ini memiliki danau buatan di sekelilingnya.

Setelah dari Burj Khalifa, rombongan beranjak ke destinasi lainnya. Walau berada di luar pusat kota, saya tak menemui bangunan kumuh atau rumah yang catnya mengelupas dan memudar, padahal suhu di musim panas bisa mencapai 50 derajat Celsius. Sekitar 20 menit kemudian, minibus tiba di kawasan bersejarah Al Fahidi yang tampak mencolok dengan rumah-rumah tradisional dengan menara angin untuk mendinginkan suhu di musim panas. Berbahan utama batu, gips, tanah liat, jati, cendana, atau kelapa, bangunan tertingginya pun tidak dapat disamakan dengan Burj Khalifa, karena di sinilah tempat untuk menikmati  Dubai di masa lalu. Suasana siang itu sepi, dengan hanya segelintir turis mengerumuni kios-kios yang menjual aneka kerajinan, seperti piring yang dilukis, perhiasan dari kayu, dan lukisan pasir dalam botol, atau mampir di galeri seni dan restoran Arab autentiknya.

Marshall lalu mengajak saya memasuki salah satu bangunan yang bertuliskan “Sheikh Mohammed Centre for Cultural Understanding (SMCCU)” di dekat pintu masuknya. Ruangan yang saya masuki pun mungil, dan masih disekat lagi untuk ruang tamu dan staf, sementara di salah satu sudutnya terdapat tumpukan brosur tentang SMCCU. Saya hanya mengambil tanpa sempat membacanya, lalu segera menuju courtyard yang di tengahnya terhampar karpet dengan aneka makanan dan minuman untuk makan siang.

Usai mengeksplorasi sejumlah butik dan restoran di Jumeirah Beach Residence Walk, deretan gazebo ini tersedia bagi yang ingin mengistirahatkan kaki.
Mengenal Emirati

Saat itu sekitar pukul 13:00, dan tampak beberapa Emirati (sebutan untuk penduduk Uni Emirat Arab) berpakaian kandoorah (jubah berlengan panjang) mulai memasuki ruangan. Salah satunya kemudian memperkenalkan diri sebagai Abdullah Al Serkal, Pendiri sekaligus Direktur SMCCU. “Assalamu’alaikum,” sapanya, yang dijawab serentak oleh sekitar 40 tamu yang hadir siang itu, “Wa’alaikumussalam.” Ia tak menyangka para tamu dapat mengucapkan salam dalam bahasa Arab tersebut dengan benar.

Abdullah kemudian menjelaskan tentang pusat budaya yang dipimpinnya, di mana ide pendiriannya  didapat dari Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Perdana Menteri Uni Emirat Arab, yang pernah mengungkapkan keinginannya untuk menyediakan wadah bagi para ekspatriat yang jumlahnya kini mencapai 80 persen dari total populasi Dubai untuk mempelajari budaya setempat. SMCCU pun kemudian didirikan pada 1998 dan seiring waktu, banyak kegiatan yang ditawarkan, seperti keliling masjid, kursus bahasa Arab, hingga sekadar bersantap khas Emirati, seperti yang saya lakukan siang itu.

Why do you think we are sitting on the floor?” tanya Abdullah, yang lalu dijawabnya sendiri, “It’s the Emirati way of living! Even sheikhs sit on the floor and eat with their hands, no matter how luxurious their houses are!” yang disambut dengan derai tawa para tamu.

Hidangan inilah yang disajikan saat bersantap bersama di SMCCU.

Makan siang hari itu dimulai dengan menikmati kopi Arab yang disajikan dalam cangkir-cangkir mungil tanpa gagang. Karena disajikan panas, kopi yang dituangkan pun hanya sedikit agar tidak melukai tangan. Tak lama, para pelayan membawa nampan berisi tumpukan kurma, yang disarankan untuk disantap terlebih dulu sebelum meneguk kopi tanpa gula tersebut. Kopi Arab memang simbol keramahtamahan Emirati karena minuman ini akan ditawarkan kepada setiap tamu yang berkunjung. Secara tradisional, setiap tamu wajib diberi makan dan tempat tinggal selama tiga hari, tanpa mempertanyakan asal dan bahkan nama.

Shake your cup, or just turn it upside down if you don’t want more coffee, otherwise they will serve you more coffee until tomorrow,” kelakar Abdullah.

Ia lalu melanjutkan kisahnya tentang Dubai, yang di masa lalu masyarakatnya menjadikan kurma dan mutiara sebagai sumber penghasilan utama. Abdullah lalu menyebut unta sebagai “Ferrari of the desert”, karena mempunyai mobil mewah di masa kini gengsinya mirip dengan memiliki unta di masa lalu. Sebagai moda transportasi, unta mengungguli kuda karena dapat bertahan tanpa air hingga 1,5 minggu. Dari unta pulalah, pemiliknya dapat menikmati susu, kulit, dan dagingnya untuk keperluan sehari-hari.

Melihat raut wajah para tamu yang mulai tak sabar mencicipi makanan yang terhidang, Abdullah pun mempersilakan untuk mulai mengambil makanan, dengan para wanita dipersilakan memulai terlebih dahulu. Siang itu yang terhidang adalah machboos (mirip nasi biryani yang disajikan bersama daging ayam atau kambing, kentang, telur rebus, dan kacang lentil), saloona (sup isi daging dan sayuran), dan luqaimat (mirip donat yang dinikmati bersama siraman sirup dari saffron, kapulaga, dan kayu manis) untuk pencuci mulut.

Pengalaman unik seharga 90 dirham itu sepadan dengan harganya. Tak hanya karena makanan yang lezat dan melimpah, namun juga para tamu bebas menanyakan hal-hal yang paling sensitif sekalipun. Misalnya, tentang kebiasaan orang Arab yang berciuman hidung ketika bertemu, yang ternyata berawal dari  kebiasaan di masa lalu ketika mereka masih mengembara dan menuntun unta di gurun. “I have my precious camel in one hand, and a gun in the other to protect me and my family. How do I greet my friends, while I don’t want to let go of my camel and gun?

Rumah-rumah tradisional di Al Fahidi ini memiliki menara angin untuk memberikan hawa dingin di musim panas.
Roller Coaster di Gurun

Bila salah seorang teman bertanya kunjungan ke manakah yang paling berkesan, saya bakal tak ragu menjawab bersafari dengan Toyota Land Cruiser di gurun. Jauh sebelum ke Dubai, saya sudah banyak membaca tentang serunya safari dengan sensasinya dapat disejajarkan dengan naik roller coaster. Tentu saja saya meragukan sebelum mencobanya sendiri. Nadier yang saat itu menjadi supir sekaligus pemandu sudah mengingatkan saya untuk duduk di jok depan bila mudah mabuk, namun saya merelakan kursi tersebut untuk seorang teman. Lagipula, saat itu saya pikir safari ini tak bakal seseram roller coaster.

Setelah Nadier mengurangi tekanan angin ban hingga setengah dari kondisi normal, mobil pun mulai meluncur naik turun melintasi bukit-bukit pasir. Seumur-umur, saya baru pertama kali merasakan takut mati saat mobil miring hingga 60 derajat. Penumpang di dalam pun beberapa kali terlempar dari kursi sehingga sabuk pengaman memang harus terpasang erat. Oryx – hewan terancam punah yang sempat saya lihat di kejauhan – pun tak saya indahkan karena sibuk memegang handle di atas jendela. Ternyata memang benar, naik mobil melintasi padang pasir mirip naik roller coaster. Hanya saja, siksaan saat naik roller coaster hanya 2-3 menit, sementara safari dapat mencapai 30 menit. Tak heran bila kantong-kantong kertas disediakan di depan kursi penumpang bagi yang ingin memuntahkan isi perut.

No worries,” kata Nadier. “Saya sudah belasan tahun menyetir di gurun tanpa pernah mengalami kecelakaan,” ujarnya dengan maksud menghibur. Ia juga kemudian bercerita pernah menjadi supir untuk Richard Hammond, mantan pembawa acara Top Gear, yang melakukan pengambilan gambar untuk The Grand Tour di Dubai bersama Jeremy Clarkson dan James May.

Siksaan berakhir ketika mobil tiba di tenda-tenda khas suku Bedouin, sekitar satu jam sebelum matahari terbenam. Saya masih punya waktu untuk melihat kios-kios di sekitar tenda yang menjual barang-barang unik, seperti kerajinan kayu dan pasir. Saya juga sempat ditawari naik unta dan menato tangan dengan henna, yang semuanya langsung saya setujui tanpa berpikir panjang.

Matahari  bergerak semakin ke barat, sebelum kemudian benar-benar menghilang di balik cakrawala. Saat itulah pula beragam hidangan barbekyu pun disajikan. Para penari perut tampak mengambil posisi di tengah tenda untuk meliuk-liukkan perut mereka. Menurut Marshall, hiburan di tenda ini selalu berubah, tidak selalu tari perut.  “Bisa saja penyanyi yang membawakan lagu-lagu rakyat Timur Tengah, pemain oud (gitar gambus), dan bahkan tari sufi.”

Makan malam selesai sekitar pukul 20:30, yang ditutup dengan dimatikannya semua lampu selama lima menit untuk mengamati bintang. Walau hanya sebentar, suasana saat itu sangatlah romantis dan para tamu pun dengan tertib tak ada yang menyalakan ponsel. Semua terdiam sejenak untuk menikmati keindahan malam itu. Tanpa cahaya, pancaindra terasa lebih tajam. Saya baru sadar kalau pasir yang saya injak itu terasa dingin. Desiran angin dan gemerisik pasir pun sesekali terdengar.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya menyempatkan membalas pesan Whatsapp dari sahabat saya. “Belum berhasil membawa sheikh pulang, tapi sudah naik “roller coaster” di gurun!”

Memandangi lautan pasir di balik jendela, saya  memang belum puas menikmati Dubai dalam kunjungan ini. Mungkin beberapa tahun lagi, ketika Dubai Eye yang bakal mengalahkan High Roller di Las Vegas sudah beroperasi, atau ketika Dubai City Tower yang tingginya tiga kali lipat dari Burj Khalifa selesai dibangun, saya akan kembali.

Teks: Melinda Yuliani

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here